Jumat, 24 Februari 2012

Bangsaku Merindukanku

Oleh: Wahyu Jatmiko***

Kualitas Bangsa terlihat dari pemudanya. Baik sebuah bangsa saat pemudanya baik, buruk sebuah bagsa tatkala buruk pemudanya.

Indonesia, sebuah kata yang merepresentasikan sebuah cita. Mengumpulkan sekelompok manusia dari berbagai macam karakternya, manusia-manusia yang berbeda agama, suku, golongan namun tetap satu naungan, bangsa Indonesia. Begitu besar kuantitas bangsa ini. Tak kurang 230 juta insan mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia. Mereka tersebar dari Sabang hingga Merauke, dari pulau terbarat Indonesia hingga pulau tertimur mengatasnamakan Indonesia sebagai bangsanya.

Bangsa ini (baca: Indonesia) adalah bangsa yang besar. Secara jumlah, tak perlu kita ragukan lagi. Bangsa ini memiliki member yang merupakan salah satu terbanyak didunia. Namun bagaimana dengan kualitas? Bila kuantitas kita dapat berbangga, apa kabar kualitas bangsa ini?

Telah begitu banyak tulisan-tulisan yang mengungkapkan betapa kurangnya kualitas bangsa ini. Telah begitu banyak lisan yang berucap mencemooh bangsa ini. Lisan-lisan yang seakan tak pernah berdosa itu mengatakan keburukan-keburukan bangsa. Dari kata ‘bodoh’, ‘korup’, ‘miskin’, ‘tak berakhlak’, ‘tak bermoral’ dan masih banyak lagi keluar dari lisan-lisan yang ‘suci’ seakan kata-kata tersebut menjadi gelar bagi bangsa ini. Diluar itu, banyak pula tulisan-tulisan, gagasan-gagasan, ucapan-ucapan yang mencoba memosisikan diri menjadi solusi bagi curat-marutnya kondisi negeri ini. Dari ide-ide meningkatakan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan standar hidup rakyat, meningkatkan pendidikan, pemberantasan korupsi, mafia hukum, mafia pajak, pembenaran akhlak merupakan sedikit dari banyak ide yang dilontarkan. Pertanyaannya, mengapa bangsa ini masih tetap terpuruk?

Bukankah kemiskinan di negeri ini masih tetap tinggi? Lebih dari 30 juta rakyat berada dibawah garis kemiskinan. Bukankah masih banyak anak-anak dibawah umur yang sudah harus bekerja? Lihatlah di jalan raya-jalan raya yang ada, lihatlah di stasiun atau di terminal angkutan umum. Bukankah para TKI di luar negeri sana masih terus menjadi korban para majikannya.? Simak kondisi Sumiati yang disiksa oleh majikannya di Arab Saudi. Bukankah negeri ini masih mendapatkan gelar sebagai salah satu negeri terkorup? Simaklah bagaimana nasip KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang terindikasi dikriminalisasikan. Lantas kemana larinya solusi yang banyak oleh para professor, doctor dan orang-orang berpenddikan negeri ini lainnya cetuskan?

Bukan hanya itu, lihatlah betapa beruntunya Allah Swt memberikan Azab (saya lebih prefer mengatakan bencana ini azab bukan cobaan, karena melihat fakta yang ada) berupa bencana yang terus-menerus di akhir-akhir ini. Tentu masih hangat peristiwa banjir di Wasior, Gempa disusul tsunami di Mentawai, Sumatra, Fenomena Gunung Merapi yang meletus, semua itu tidaklah ‘gratis’, namun harus dibayar dengan nyawa-nyawa komponen bangsa yang menjadi korban. Hal ini menimbulkan begitu banyak pertanyaan pada diri saya. Pertanyaan terbesar adalah, mengapa Indonesia seperti ini?

Sebagai bagian dari bangsa yang saya cintai -karena Allah- ini, jelas ingin sekali saya menjadi bagian dari solusi kebangkitan bangsa Indonesia ini. Berada pada barisan para member bangsa yang siap memajukan bangsa. Turut serta berada digarda terdepan menyongsong kembangikitan bangsa. Sempat khawatir diri ini tatkala membaca firman Allah Swt.
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahakan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan” (QS Al-A’raf: 96)
Betapa jelas Allah memaparkan bahwa setiap siksa yang diberikan pada suatu bangsa memiliki korelasi positif dengan pembangkangan negeri itu kepada Tuhannya. Dengan kata lain, begitu banyak kerusakan yang telah dilakukan oleh bangsa kita sendiri adalah sebab musibah yang silih berganti timbul di negeri ini. Kini pertanyaannya, posisi mana yang ingin kita ambil? Berkontribusi terhadap kemajuan bangsa, atau berkontribusi pada upaya yang pada hakikatnya menghancurkan bangsa ini sendiri.

Bangsa ini sungguh merindu pada orang-orang yang berdiri gagah, berjalan dengan berjuta amalan kebaikan yang tanpa pamrih ditujukan demi kemajuan bangsa. Bagsa ini sungguh rindu pada orang-orang yang memiliki komitmen penuh untuk memajukan bangsanya, bangsa ini sungguh menunggu, member-nya yang siap memimpin dirinya pribadi terlebih dahulu sebelum meimpin bangsanya. Sungguh bangsa ini sudah muak dan tidak butuh dengan orang yang hanya dapat berkata indah, berbicara tentang solusi, meneriakkan tentang kebaikan, tapi no action. Tidak ada gunanya. Juga pada orang yang hanya bergerak membangun bangsa ini bilamana pergerakannya menguntungkan dirinya, ketika tidak ada keuntungan maka tak ada pula amalan. Bangsa ini juga tak butuh dengan orang-orang seperti itu.

Sungguh ingin diri ini menjadi salah satu dari orang-orang yang dirindukan bangsa ini

Sebagai pemuda dan mahasiswa, menempatkan diri kepada barisan pembangun bangsa adalah harga mati yang tiada ganti. Sebagai mahasiswa, Tri Dharma perguruan tinggi jelas harus secara balance di terapkan. Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat harus dilaksanaakan. Namun bentuk konkret seperti apa yang akan kita ambil? Apakah dengan hanya belajar saja? IPK Cumlaude, mendapatkan kerja dengan ‘gaji’ tinggi, dan sudah. Atau hanya mengabdi pada masyarakat, tanpa bekal ilmu? Atau dengan aksi turun ke jalan saat ada kebijakan pemerintah yang dinilai memberatkan rakyat?

Bangsaku merindukanku.

Kalau bisa saat ini mengapa harus menunggu nanti. Pemuda adalah pembangun bangsa, dan mahasiswa adalah kumpulan pemuda yang memiliki intelktual tinggi. Terlebih mahasiswa Universitas Indonesia, salah satu universitas terbaik di negeri ini. Sudah sepantasnya masyarakat menaruh harapan yang banyak terhadap kita –mahasiswa, khususnya mahasiswa UI-. Banyak mahasiswa berbicara tentang apa peran yang dapat diambil sebagai kontribusi terhadap pembangunan bangsa. Hal yang sangat popular adalah demonstrasi. Mahasiswa dengan jaket kuning –dan warna almamater lainnya- kebanggaannya turun kejalan, meneriakkan usulan dan menyuarakan penderitaan rakyat. Namun sebatas mana semua itu efektif? Dalam hal ini saya berpendapat jalan tersebut tidaklah efektif, dalam konteks pembangunan bangsa.

Ada beberapa hal yang menurut saya wajib pemuda (mahasiswa) yang bertekat membangun bangsa ini mengtahui dan melaksanakannya. Hal itu dimulai dari suatu core-point yakni menjadi mahasiswa yang sebenarnya. Sepuluh sampai dua puluh tahun kedepan, kitalah –generasi pemuda saat ini- yang akan menggantikan posisi para pemimpin negeri ini saat ini. Kelak mungkin diatara kita akan ada yang menjadi anggota DPR/legislatif, menteri, bahkan presiden. Menyiapkan diri kearah sanalah yang penting untuk dilaksanakan. Pertama, kita harus dapat menjadikan diri kita pemimpin untuk diri kita sendri terlebih dahulu sebelum melangkahkan kaki untuk menjadi pemimpin bangsa ini. Bagaimana mau memimpin orang lain bila memimpin diri kita pribadi saja tidak bisa. Memimpin itu dari diri sendiri. Pastikan kita telah dapat memimpin diri kita prbadi terlebih dahulu sebelum memimpin orang lain. Banyak orang yang ingin memimpin bangsa namun belum dapat memimpin diri sendiri, kita sering kali lupa bahwa kita adalah bagian dari bangsa yang kita bercita-cita untuk menjadi pemimpinnya ini. Bila memimpin diri kita pribadi saja tidak bisa, bagaimana mau memimpin bangsa?

Kedua adalah mulai menjalankan kebaikan dari hal yang kecil saja dan dari saat ini. (seperti pesan dari AA Gym tentang 3 pilar memulai amal). Kebanyakan orang hanya mau melaksanakan sesuatu bila hal tersebut dilihat hebat oleh orang lain. Pujian dan penghargaan menjadi sarat mutlak untuk melaksanakan sesuatu. Tanpanya, tak ada amal. Mari kita luruskan, bahwa setiap amlan yang kita lakukan kita serahkan pada Allah swt. dalam hal imbalannya.
Ketiga, tidak perlu menyalahkan orang namun koreksi diri kita sendiri. Banyak orang ingin untuk mengubah dunia, namun sedikit yang mau mengubah dirinya sendiri. Betapa banyak orang yang ingin mengubah Indonesia –menjadi lebih maju- namun belum selesai dengan dirinya sendiri. Maka penting bagi kita untuk menjadi orang yang memulai perbaikan dari diri kita pribadi.
Keempat, berilmu sebelum berkata dan beramal. Perbedaan mahasiswa dengan pemuda lain terletak pada intelektualitasannya. Mahasiswa jelas lebih intelek, lebih berilmu dan seharusnya lebih beradab. Maka dalam pelaksanaannya pantang bagi mahasiswa untuk berbicara dan melaksanakan sesuatu tanpa dilandasari dengan ilmu yang ia miliki.

Secara langsung mungkin anda memanggap bahwa relasi solusi yang saya tawarkan tidak terlihat jelas dengan kemajuan bangsa. Saya hanya ingin mengingatkan, bahwa kita semua adalah bagian dari bangsa, bangsa Indonesia. Bila kita ingin mengubah bangsa ini menjadi bangsa yang lebih baik, bila kita ingin membangun bangsa ini menjadi lebih bermartabat, bila kita ingin memajukan bangsa ini maka mulailah itu dari diri kita pribadi. Karena kita adalah bagian dari bangsa, mengubah diri kita menjadi lebih baik, adalah mengubah bangsa ini menjadi lebih baik pula.

Sungguh bangsaku merindukanku, karena aku adalah seorang mahasiswa yang tak akan menjadi pemimpin sebelum memastikan diri dapat memimpin diriku sendiri. Sungguh bangsaku merindukanku, karena aku adalah mahasiswa yang memiliki komitmen untuk fokus menjadi pemimpin pada bidangku, karena menjadi pemimpin bangsa bukan hanya dengan menjadi presiden. Saat aku kelak menjadi seorang pemimpin perusahaan, perusahaan itulah yang akan menjadi kendaraanku, kupimpin para pekerjaku untuk kepentingan bangsaku. Sungguh bangsaku mendambakanku, saat kelak aku menjadi orang yang bili tidak dapat memberikan kebaikan, aku berusaha tidak memberikan keburukan. Karena menghindari keburukan lebih kuprioritaskan dari melaksanakan kebaikan. Sungguh bangsaku merindukanku, karena setiap kata yang keluar dari lisanku adalah komitmen dan janji yang siap kupertanggung jawabkan. Sungguh bagsaku mendambakanku, karena aku memberi bukti dalam amalanku bukan hanya dalam lisan dan tulisanku. Sungguh bangsaku merindukanku, karena aku adalah orang yang kelak akan mengjak orang lain, para pemuda, para mahasiswa untuk menjadikan dirinya, menjadi orang-orang yang dirindukan oleh bangsanya.

Depok, 3 Desember 2010

***Penulis adalah mahasiswa Management, Fakulatas Ekonomi, Universitas Indonesia dan merupakan Peserta Universias Indonesia-Student Development Program (UI-SDP 2011).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar