Selasa, 03 Mei 2011

Menasihati Pemerintah Degnan Benar*


Islam adalah agama yang sempurna. Perihal hidup ummatnya, dari A sampai Z telah diatur dengan sangat detail. Begitu pula terkait dengan hubungan rakyat dengan penguasa kaum muslimin (pemerintah), Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengatur perihal tersebut. Namun banyak orang, bahkan yang mengaku Da’i Islam, salah melangkah dalm perkara ini.

Diantara prinsip Ahlu Sunnah wal Jama’ah[1] adalah tidak mengadakan provokasi atau penghasutan untuk memberontak kepada penguasa meskipun penguasa itu berbuat Zhalim. Tidak boleh melakukan provokasi baik diatas mimbar, tempat khusus atau pun umum, dan media lainnya. Karena yang demikian menyalahi petunjuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Salafush Shalih (pendahulu ummat yang shalih).

Rasulullaah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

”Barang siapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakan dengan terang-terangan. Hendaklah ia pegang tangannya (penguasa) lalu menyendiri dengannya. Jika penguasa itu mau mendengar nasihat itu, maka itu yang terbaik dan bila si penguasa itu enggan (tidak mau menerima), maka sungguh ia (yang menasihati) telah melaksanakan kewajiban amanah yang dibebankan kepadanya” [2]

Harus kita ingat, jika sudah ada dalil yang shahih, maka wajib bagi seorang muslim untuk taat kepada Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hujjah (dalil/argumentasi) itu terdapat pada hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih dan tidak boleh menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan beralasan kepada perkataan ulama atau perbuatan satu kaum atau siapa saja.

Ahlu Sunnah tidak suka dan tidak rela dengan kezhaliman dan kemunkaran yang dilakukan oleh penguasa atau lainnya. Akan tetapi cara mengingkari kemunkaran yang dilakukan oleh penguasa dan cara menasihati penguasa harus sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan atsar Salafush Shalih.

Menjelek-jelekan penguasa, membeberkan aibnya, menyebutkan kekurangannya, menampakkan kebencian kepadanya dihadapan umum atau melalui media lainnya dan mengadakan provokasi, hal itu bukan cara yang benar. Bahkan cara ini menyalahi petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdosa karena menyalahi sunnah, menimbulkan kerusakan dan bahaya yang lebih besar serta tidak ada manfaatnya. Orang yang melakukan hal demikian akan dihinakan Allah pada hari Kiamat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

”Barang siapa yang memuliakan penguasa di dunia, akan dimuliakan Allah di akhirat, dan barang siapa yang menghinakan penguasa di dunia, maka Allah akan hinakan dia pada hari kiamat [3]

Imam Ibnu ’Ashim dalam kitabnya, As-Sunnah, memberikan bab: “Apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan untuk memuliakan penguasa dan melarang keras untuk menghinakannya.” [4]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kita untuk bersabar terhadap kezhaliman penguasa. Dan dengan kesabaran itu Allah akan berikan ganjaran yang besar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

”Barang siapa yang tidak menyukai sesuatu dari pempinnya maka hendaklah ia bersabar terhadpnya. Sebab, tidaklah seorang manusia keluar dari penguasa lalu ia mati diatasnya, melainkan ia mati dalam keadaan Jahiliayah.”[5]

Ahlu Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa menaati pemimpin secara ma’ruf merupakan salah satu dasar utama Aqidah. Kewajiban tersebut selama mereka (pemimpin kaum muslimin) tidak memerintahkan untuk berbuat kemaksiatan. Karena menaati mereka (sekalipunpun mereka zhalim) termasuk ketaatan kepada Allah dan kketaatan kepada Allah ’Azza wa Jalla adalah Wajib.
Sebagaimana Firman Allah ’Azza wa Jalla:

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad) dan ulil Amri (pemegang kekuasaan) daiatara kamu...”
(QS. An-Nisaa’: 59)

Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

”Tidak (boleh) taat (terhadap pemerintah) yang didalamnya terdapat kemaksiatan kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam kebajikan.”[6]

Juga sabda Beliau:

”Wajib atas seorang Muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) pada apa-apa yang ia cintai kecuali jika ia disuruh untuk berbuat kemaksiatan. Jika ia disuruh untuk berbuat kemaksiatan, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat.” [7]

Apabila pemerintah kaum muslimin memerintahkan perbuatan maksiat, saat itulah kita dilarang untuk mentaatinya namun tetap wajib untuk taat dalam kebenaran lainnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:

”...Aku wasiatkan kepada kalian agar tetap bertaqwa kepada Allah Yang Mahamulia lagi Mahatinggi, tetaplah mendengar dan mentaati, walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak Habasyah...” [8]

Perbuatan maksiat kepada pemimpin juga berarti maksait kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:

”Barang siapa yang taat kepadaku berarti ia telah taat kepada Allah dan barang siapa yang durhaka kepadaku, berarti ia telah durhaka kepada Allah. Barang siapa yang taat kepada amirku (yang muslim) maka ia telah taat kepadaku dan barang siapa yang maksiat kepada amirku, maka ia maksiat kepadaku.”[9]

Maka al-Imam Ibnu Abil ’Izz rahumahullah (wafat 792 H) berkata: ”Hukum mentaati ulil amri adalah wajib (selama tidak dalam kemaksiatan) meskipun mereka berbuat zhalim, karena kalau keluar dari ketaatan kepada mereka akan menimbulkan kerusakan yang berlipat ganda dibanding dengan kezhaliman penguasa itu sendiri. Bahkan bersabar terahadap kezhaliman pemimpin dapat melebur dosa-dosa dan dapat melipatgandakan pahala. Karena Allah ’Azza wa Jalla tak akan menguasakan mereka atas diri kita melainkan disebabkan kerusakan amal perbuatan kita juga. Balasan itu sesuai pada amal perbuatan. Maka hendaklah kita bersungguh-sungguh memohon ampunan, bertaubat dan memperbaiki amal perbuatan.

Allah ’Azza wa Jalla berfirman:

“dan musibah apapun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syuraa: 30)

Allah ’Azza wa Jalla juga berfirman:

“Dan demikianlah kami jadikan sebagian orang-orang zhalim berteman dengan sesamannya sesuai dengan apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-An’aam: 129)

Syaikh al-Albani rahumahullah seringkali mengutip perkataan seorang Da’i : “Tegakkanlah negara islam di dalam hatimu, niscaya akan tegak islam di negaramu.”

Cara menghindari diri dari kezhaliman penguasa bukan dengan cara menurut sangkaan sebagian orang, yaitu dengan demonstrasi, memberontak, mengangkat senjata ataupun dengan cara kudeta, karena yang demikian itu termasuk hal yang baru yang diada-adakan dalam agama ini dan menyelisishi nash-nash syari’at yang memerintahkan untuk merubah diri kita lebih dahulu. Karena pasti Allah akan menolong hamba-Nya yang menolong agama-Nya.

Berdoa untuk penguasa adalah hal yang sering kita lupa. Simaklah perkataan Fudhail bin ’Iyadh rohimahullah: ’jikalau aku mempunyai do’a yang baik yang akan dikabulkan, maka semuanya akan aku tujukan kepada para pemimpin.’ Ia ditanya: ’Wahai Abu ’Ali jelaskanlah maksud ucapan tersebut?’ Beliau berkata: ’Apabila do’a itu hanya aku tujukan bagi diriku, tidak lebih hanya bermanfaat bagi diriku, namun apabila aku tujukan kepada pemimpin dan ternyata pemimpin berubah menjadi baik, maka semua orang dan negara akan merasakan manfaat kebaikannya.’[10]

Maka nasihatilah pemimpin dengan baik, tidak seperti yang telah dilarang oleh rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Do’akan mereka, dan ubah diri kita terlebih dahulu menjadi (berisalam) lebih baik. Karena Penguasa adalah representasi dari rakyatnya. Rakyat baik, penguasa akan baik Insya Allah.

Wallahu’alam bi as-Showwab

*Diringkas dari buku Syarah ’Aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah, Yazid bin Abdul Qadir Jawwas, terbitan pustaka imam Asy-Syafi’i, cetakan kedelapan 2010. Dari prinsip ke-74 dan 75 hal. 568-576.

[1] Mereka yang menempuh (beragama islam) seperti apa yang pernah ditempuh oleh Rasulullah rahumahullah dan para sahabatnya.

[2] HR Ibnu Abi ’Ashim dalam as-Sunnah (II/507-508, bab kaifa Nashiihatur Ra’iyyah lil Wulaat, no. 1096, 1097, 1098), Ahmad (III/403-404) dan Al-Hakim (III/290) dari ’Iyadh bin Ghunm radiyallahuanhu.

[3] HR. Ahmad (V/42, 48-49) dari Abi Barkah radiyallahuanhu. Hadits ini Hasan.

[4] Lihat as-Sunnah (II/475-476) oleh Ibnu Abi ‘Ashim.

[5] HR. Muslim (no. 1849 {56})

[6] HR. Al Bukhari (no. 4340, 7257), Muslim (no. 1840) dan yang lainnya. Dari sahabat ‘Ali Radhiyallahuanhu.

[7] HR. Al Bukhari (no. 2955, 7144), Muslim (no. 1839) dari Ibnu Umar Radhiyallahuanhu.

[8] HR. Ahmad (IV/126,127) Abu Dawud (no 4607), al-Hakim (I/9596) dan yang lainnya, dari sahabat ‘Irbadh bin Syariah Radhiyallahuanhu.

[9] HR Al-Bukhari (no 7137), Muslim (no. 1835 {3}) dan yang lainnya dari sahabat Abu Hurarirah Radhiyallahuanhu.

[10] Lihat Syarhus Sunnah (no. 136), oleh Imam al-Barbahary.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar