Senin, 02 Mei 2011

Bijak Menyikapi Ahmadiyah

Oleh: Wahyu Ibnu Atman

Permasalahan Ahmadiyah masih terus terjadi di banyak belahan dunia, begitupun di Indonesia. Akhir-akhir ini permasalahan Ahmadiyah kembali mencuat. Penghakiman secara brutal atas jamaah Ahmadiyah oleh oknum-oknum yang tidak jelas asalnya terjadi sudah. Masyarakat Indonesia yang dikenal santun kini menjadi ‘ganas’ layaknya hewan yang perutnya belum terisi dengan makanan, buas. Masyarakat seakan sudah tidak sabar dan tidak lagi menaruh kepercayaan kepada penguasa yang seharusnya dapat mengatasi hal tersebut. Terlebih, kasus Ahmadiyah bukanlah kasus yang baru, namun sudah sejak lama exist mencuri perhatian para pemerhati berita.

Sebagai umat Islam, tentu kita harus mengembalikan segalanya pada Al-Qur’an dan Assunnah yang shahih, terkait masalah-masalah yang diperdebatkan, termasuk diantaranya masalah Ahmadiyah. Mengembalikan segala sesuatunya pada Al-Qur’an dan Assunnah adalah cara yang benar dan paling bijak, karena seperti itulah seharusnya seorang mukmin bersikap.

Seperti yang telah kita ketahui bersama, Ahmadiyah adalah agama yang dibawa oleh Mirza Ghulam Ahmad Al-Qadiyani. Ahmadiyah muncul pada 1900M. telah banyak buku dan tulisan-tulisan para ulama yang membahas tentang Ahmadiyah. Banyak dari tulisan tersebut yang menyebutkan kesesatan dari jamaah Ahmadiyah. Salah satu yang merupakan ajaran Ahmadiyah adalah menjadikan pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad, sebagai Nabi.

Setelah cukup dikenal oleh masyarakat muslim di India karena keberaniannya membantah agama kristen dan Hindu, pada tahun 1885M, Mirza Ghulam Ahmad memproklamirkan diri sebagai mujaddid (pemberharu agama) dengan mendapat bantuan dan dukungan penuh dari penjajah Inggris yang saat itu menguasai India. Pada tahun 1891M, ia mengklaim bahwa dirinya adalah Imam Mahdi. Kemudian pada tahun itu juga, ia mengaku sebagai Al-Masih. Dan klimaksnya pada tahun 1901M, Mirza Ghulam Ahmad mendeklarasikan diri sebagai Nabi baru, yang menurutnya lebih mulia dari para Nabi dan Rasul sebelumnya.

Hal diatas adalah satu dari sekian banyak ajaran Ahmadiyah yang bertentangan dengan ajaran Agama Islam yang selama ini kita pelajari. Kita tahu, Ahlu Sunnah wal Jama’ah menyaksikan dan meyakini bahwa Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam adalah penutup para Nabi ’alaihimus salaam. Begitu banyak dalil dari Al-Qur’an dan Assunnah yang shahih yang menunjukkan pada hal tersebut. Diantaranya adalah Firman Allah Azza wa Jalla:
”Muhammad itu bukanlah bapak dari seorang di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzab: 40)

Rasulullah-pun telah bersabda:
”Aku memiliki lima nama, aku Muhammad (yang terpuji), aku adalah ahmad (yang banyak memuji), aku adalah al-Maahi (penghapus) dimana melalui perantaraku Allah menghapus kekufuran. Aku adalah al-Haasyir (pengumpul) yang mana manusia akan dikumpulkan di hadapanku. Aku juga mempunyai nama al-’Aqib (belakangan/penutup)-tidak ada lagi Nabi yang datang sesudahku.”(Shahih. HR. Bukhari no. 3532, Muslim no. 2354, Tirmidzi no. 2840, dari Shahabat Zubair bin Muth’im Radhiyallahu ‘anhu).

Dua dalil diatas saya kira cukup untuk menunjukkan bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah nabi penutup, yang tidak ada lagi nabi setelahnya. Bila ada yang orang yang mendakwahkan adanya kenabian sesudah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia telah sesat dan kufur. (Yazid bin Abdul Qadir Jawwas, Konsekuensi Cinta kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam: 2010).

Mirza Ghulam Ahmad adalah pendusta besar, Dajjal yang telah disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salla, dalam sabdanya:
“…Dan sesungguhnya akan muncul pada umatku pendusta yang jumlahnya tiga puluh orang, mereka semua mengaku sebagai Nabi, sedangkan aku adalah penutup para Nabi dan tidak ada Nabi sepeninggalku.”
(Shahih. HR Ahmad V/278, Abu Dawud no 4252, Ibnu Majah no. 3952 dari sahabat Tsauban Radhiyallahu ‘anhu)
Jelaslah bahwa ajaran yang dibawa oleh seorang pendusta adalah dusta, maka hendaknya kita berhati-hati dengan tipu daya mereka.

Disisi lain juga diketahui bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah orang yang berguru pada pecandu opium dan ganja. Dia (Mirza Ghulam Ahmad) berkata : “Aku belajar Al-Qur’an dan kitab-kitab berbahasa Persia dengan ustadz Fadhl Ilahi. Sedangkan sharaf dan nahwu serta ilmu pengobatan, aku pelajari dari ustadz Fadhl Ahmad”. Sesuai dengan keterangan Mahmud Ahmad, salah seorang anaknya di Koran Al-Fadhl (5 Februari 1929), milik kelompok mereka, sebagian guru yang mengajar Ghulam Ahmad adalah pecandu opium dan ganja. (Al-Qadiayaniah Dirasat Wa Tahlil, karya Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir, Idaratu Turjumani As-Sunnah, Lahore, Pakistan, tanpa tahun) Tulisan diatas dibawakan oleh Ustadz Muhammad Ashim dalam artikelnya yang berjudul Siapakah Mirza Ghulam Ahmad?

Saya kira cukuplah pembuktian bahwa Mirza Ghulam Ahmad, sang pendiri Ahmadiyah, adalah seorang pendusta yang mengaku sebagi Nabi, dan itu membuktikan bahwa Ahmadiyah adalah bukan bagian dari Islam. Karena kedustaannya yang mengaku sebagai Nabi adalah kedustaan yang paling besar. Belum lagi bila kita membicarakan masalah kitab suci yang digunakan oleh Ahmadiyah adalah bukan Al-qur’an melainkan At-tadzkiroh, semakin menambah bukti keluarnya mereka dari agama yang Haq ini (baca: Islam).

Sebagai kaum Muslimin, kita wajib untuk mengingkari dan berlepas diri dari kesesatan dan kekufuran Ahmadiyah. Namun bukan berarti kita mengambil tindakan sendiri dengan menyerang mereka secara brutal. Karena sentuhan kekuatan fisik kepada mereka hanya boleh dilakukan oleh pemerintah negeri kaum muslimin ini. Penyerangan terhadap mereka (jama’ah Ahmadiyah) hanya akan menimbulkan kerusakan-kerusakan lainnya. Mendorong pemerintah untuk lebih bijak dan cepat adalah hal terbijak yang bisa dilakukan oleh kaum muslimin. Bukan dengan berdemo, koar-koar di depan gedung DPR atau ditengah jalan raya umum, namun dengan dialog dan mengirim surat yang kita tujukan kepada pemerintah kita.

Rasulullah bersabda:
”Barang siapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkan dengan terang-terangan. Hendaklah ia pegang tangannya lalu menyendiri dengannya. Jika penguasa itu mau mendengar nasihat itu, maka itu yang terbaik dan bila si penguasa itu enggan (tidak mau menerima), maka sungguh ia telah melaksanakan kewajiban amanah yang dibebankan kepadanya.” (HR Ibnu Abi ’Ashim dalam as-sunnah II/507-508, Ahmad III/ 403-404), dan al-Hakim III/290 dari ’Iyadh bin Ghunm Rhadiyallahu ’anhu)

Prinsip Ahlu Sunnah wal Jama’ah adalah tidak mengadakan provokasi atau penghasutan untuk memberontak kepada penguasa sekalipun penguasa itu berbuat zhalim. (Yazid bin Abdul Qadir Jawwas, Syarah Aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah: 2004)


Melanggar peraturan adalah dilarang dalam islam, selama peraturan tersebut tidak mengajak kita bermaksiat pada Allah Azza wa Jalla. Menyikapi masalah dengan mengembalikannya pada Alqur’an dan As-sunnah adalah keniscayaan penyelesaian dari masalah tersebut. Agama islam adalah agama dalil, bukan agama ra’yuu (akal). Apa yang baik menurut kita belum tentu baik menurut Allah ’Azza wa Jalla, begitu pula sebaliknya. Melakukan kekerasan kepada mereka tidaklah menyelesaikan masalah selama tidak dipimpin (dilakukan) oleh pemerintah.

Kita juga harus berhati-hati karena action yang kita tujukan kepada penguasa. Tidak boleh kita membeberkan kejelekan penguasa, menyebut aib dan kekurangannya, menyapaikan kebencian dalam mimbar maupun tulisan karena Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam sendiri yang telah mengingatkan kita:

”Barang siapa yang memuliakan penguasa didunia, akan dimuliakan Allah di akhirat, dan barang siapa yang menghnakan penmguasa di dunia, maka Allah akan hinakan dia pada hari kiamat.” (Hasan. HR Ahmad V/42 dari Abi Bakrah radhiyallahu anhu)

Agama islam ini telah sempurna. Semua telah diatur (dalam hal aqidah dan ibadah) dengan tidak ada penambahan-penambahan lagi atasnya. Barang siapa melakukan penambahan dalam agama ini, maka ia telah menganggap rasul shallallahu ’alaihi wa sallam telah berkhianat menyembunyikan risalah kenabian yang Allah ’Azza wa Jalla berikan (Syaikh Al-Walid bin Muhammad Nabih bin Saif An-Nashr dalam buku syarah Ushul As-sunnah Imam Ahmad bin Hambal, ini merupakan perkataan al-Imam Malik).

Telah tegak bahwa Ahmadiyah adalah sesat dan menyesatkan, mereka berdiri diatas kesesatan dan kesalahan, namun kita tidak boleh melakukan tindakan yang salah dengan mengatasnamakan pengingkaran terhadap Ahmadiyah. Kemaksiatan tidak boleh dibalas dengan kemaksiatan, semua telah Allah ’azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wa Sallam ajarkan dalam Islam. Sebagai muslim yang taat, maka dengar dan taat apa yang telah tertulis di Alqur’an dan as-Sunnah yang shahih dengan pemahaman para shahabat.

Wallahu’alam bi as-shawwab

Sumber-sumber:

Jawas, Yazid bin Abdul Qadir. 2010. Syarah Aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i.

Jawas, Yazid bin Abdul Qadir. 2010. Konsekuensi Cinta Kepada Nabi Muhamad. Jakarta: Pustaka At-Taqwa.

An-Nashr, Al Walid bin Muhammad Nabih bin Saif. 2009. Syarah Ushul As-Sunnah Imam Ahmad bin Hambal. Jakarta: Darus Sunnah

Ashim , Muhammad. SIAPAKAH MIRZA GHULAM AHMAD. www.almanhaj.or.id (25 Februari 2010)

AHMADIYAH KELOMPOK PENGEKOR NABI PALSU Disalin dari Majalah Fatawa Vol. 06. Th. II 1425H/2004M. Disusun dan dialihbahasakan Abu Asiah, Alamat Redaksi Islamic Center Bin Baz, Karanggayam, Sitimulyo, Piyungan, Bantul – Yogyakarta] www.almanhaj.or.id (25 Februari 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar