Jumat, 16 Desember 2011

Sudahkah Kita Beribadah?


Secara bahasa (etimologi), Ibadah berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menerut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi tetapi yang paling lengkap yaitu, Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin.

Ibadah itu dibangun atas tiga pilar, yaitu: hubb (cinta), khauf (takut), raja’ (harapan). Didalam setiap ibadah harus terkumpul atasnya pilar-pilar tersebut. Allah berfirman:
“...Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah...” (Q.S Al-Baqarah: 165)
“..Sungguh mereka bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan dan mereka berdo’a kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka orang-orang yang khusyu’ kepada kami.” (Q.S Al-Anbiyaa’:90)

Ibadah merupakan perkara tauqifiyah, yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang
disyariatkan kecuali berdasarkan Al-qur’an dan As-sunnah. Apa yang tidak disyari’atkan maka perbuatan tersebut tertolak, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Barang siapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR Muslim no. 1718 (18) dan Ahmad IV/146; 180; 256, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha)
Agar dapat diterima ibadah disyariatkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa benar kecuali dengan terpenuhinya dua syarat:

1. Ikhlas karena Allah azza wa Jalla semata, bebas dari syirik besar dan kecil.
2. Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

Syarat yang pertama merupaka konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena ia mengharuskan ikhlas dalam beribadah hanya untuk Allah dan jauh dari Syirik kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajibnya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggalkan ibadah-ibadah yang diada-adalan (baca:bid’ah).
Allah berfirman:

“Tidak! Barang siapa menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Rabbnya dan tidak ada rasa takut pada diri mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 112)

“Menyerahkan diri” artinya memurnikan ibadah kepada Allah. “Berbuat kebajikan” artinya mengikuti Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “Inti agama adan dua pilar yaitu kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan kita tidak beribadah kecuali dengan apa yang Dia syari’atkan, tidak dengan perkara-perkara yang baru.
Sebagaimana Allah berfirman:

“...Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Rabbnya maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (QS. Al-Kahfi: 110)

Yang demikian adalah manifestasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat Laa ilaaha illallaah, Muhammad Rasulullaah.

Pada yang pertama, kita tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Pada yang kedua, bahwasanya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan-Nya yang menyampaikan ajaran-Nya. Maka kita wajib membenarkan dan mempercayai beritanya serta mentaati perintahnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bagaimana cara kita beribadah kepada Allah, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita dari hal-hal yang baru dalam agama. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa setiap hal-hal baru dalam agama adalah sesat.” (Lihat al-‘Ubuudiyyah hlm 221-222 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah, tahqiq: ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid)
Ibadah dalam islam tidak disyari’atkan untuk mempersempit atau mempersulit manusia, dan tidak pula untuk menjatuhkan mereka dalam kesulitan. Akan tetapi ibadah itu disyariatkan untuk berbagai hikmah yang agung, kemaslahatan besar yang tidak dapat dihitung jumlahnya. Pelaksanaan ibadah didalam islam semua mudah.

Diantara keutamaan ibadah bahwasanya ibadah mensucikan jiwa, membersihkan hati, dan mengangkatnya ke derajat tertinggi menuju kesempurnaan manusia.
Biarlah perkataan Imam Malik Rahimahullah yang sangat inidah berikut ini menutup tulisan ini. Imam malik Berkata, “Barang siapa membuat perkara baru dalam urusan umat ini yang tidak pernah berada di atasnya generasi pertama umat ini, maka ia telah mengira bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alalihi wa sallam berkhianat dalam menyampaikan risalah Allah Azza wa Jalla ini, karena Allah Azza wa Jalla telah berfirman:

“Pada hari ini telah kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah kucukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah kuridhi Islam itu menjadi agama bagimu.” (QS. Al-Maa’idah: 3)
Maka perkara-perkara yang bukan termasuk urusan agama pada waktu itu, berarti bukan termasuk urusan agama pula pada zaman sekarang ini. Keadaan akhir umat ini tidaklah menjadi baik kecuali dengan apa yang membuat generasi pertama umat ini menjadi baik.” (lihat Syarah Ushulus Sunnah Keyakinan Al-Imam Ahmad dalam Aqidah hlm 41-42 oleh Syaikh Walid bin Muhammad Nubaih, Pustaka Darul Ilmi)

Wallahu ‘alam bish-showab

Semoga Bermanfaat.

*Diringkas dari Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (hlm 185-190) Bab kesembilan: Pilar-pilar Ibadah dalam Islam, oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, dengan sedikit penambahan (pada bagian akhir, yakni; perkataan Imam Malik) dari kitab Syarah Ushulus Sunnah Keyakinan Al-Imam Ahmad dalam Aqidah (hlm 41-42) oleh Syaikh Walid bin Muhammad Nubaih, Pustaka Darul Ilmi.

Adab Makan dan Minum Seorang Muslim


Adab Makan dan Minum Seorang Muslim Merupakan bagian dari kesempurnaan syari’at Islam adalah telah diaturnya segala bentuk kegiatan sehari-hari umatnya. Berikut beberapa adab dalam makan berdasarkan hadits-hadits yang shahih:

1. Mengawalinya dengan membaca BISMILLAH “Sesungguhnya syaiton turut menikmati makanan yang tidak disebut nama Allah padanya…” (HR Muslim no. 2017) Catatan: Tanpa ditambah dengan ar-Rahman ar-Rahim

2. Makan dan Minum dengan Menggunakan Tangan Kanan dan Tidak Menggunakan Tangan Kiri dari Umar radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang diantara kalian hendak makan maka hendaknya makan dengan menggunakan tangan kanan, dan apabila hendak minum maka hendaknya minum juga dengan tangan kanan. Sesungguhnya syaitan itu makan dengan tangan kiri dan juga minum dengan menggunakan tangan kirinya.” (HR Muslim no. 2020)

3. Tidak Makan dan Minum Sambil Berdiri kecuali bila tidak menemukan tempat untuk duduk (dalam keadaan darurat). Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian minum sambil berdiri. Barang siapa lupa sehingga minum sambil berdiri, maka hendaklah ia berusaha untuk memuntahkannya.” (HR. Ahmad no 8135)

4. Tidak Duduk Sambil Bersandar Abu Juhaifah mengatakan, bahwa dia berada di dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Rasulullah berkata kepada seseorang yang berada di dekat beliau, “Aku tidak makan dalam keadaan bersandar.” (HR Bukhari)

5. Tidak Makan sambil Tengkurap Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua jenis makanan: yaitu duduk dalam jamuan makan yang menyuguhkan minum-minuman keras dan makan sambil tengkurap.” (HR Abu Daud dan Ibnu Majjah. Hadits ini dishahihkan oleh al-Albani.)

6. Tidak Dilarang (Boleh) untuk Berbicara saat Makan. Dalam al-Adzkar, Imam Nawawi mengatakan, “Dianjurkan berbicara ketika makan. Berkenaan dengan ini terdapat sebuah hadits yang dibawakan oleh Jabir radhiyallahu ‘anhu sebagaimana yang telah kami kemukakan dalam sub “Bab memuji makanan”. Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam kitab al-Ihya mengatakan bahwa termasuk etika makan ialah membicarakan hal-hal yang baik sambil makan, membicarakan kisah orang-orang yang shalih dalam makanan.” (al-Adzkar hal 602, edisi terjemah cet. Sinar baru Algen Sindo)

7. Mengambil Makanan dari yang Terdekat Terlebih Dahulu Umar bin Abi Salamah meriwayatkan, “Suatu hari aku makan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan aku mengambil daging yang berada di pinggir nampan, lantas Nabi bersabda, “Makanlah makanan yang berada di dekatmu.” (HR. Muslim, no. 2022)

8. Cuci Tangan Sebelum dan Sesudah Makan. Dalam riwayat lain, Abu Hurairah menyatakan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah makan belikat kambing. Sesudah selesai makan beliau berkumur-kumur, mencuci dua tangannya baru melaksanakan shalat. (HR. Ahmad, 27486 dan Ibn Majah 493, hadits ini dishahihkan oleh al-Albani)

9. Berwudhu Sebelum Makan Saat dalam Keadaan Junub. Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika dalam keadaan junub lalu hendak makan atau tidur, maka beliau berwudhu terlebih dahulu, seperti berwudhu untuk shalat.” (HR Bukhari, no. 286 dan Muslim, no. 305)

10. Mendahulukan Makan dari Shalat Ketika dalam Keadaan Sangat Lapar Dari Anas radhiyallahu ‘anhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika makan malam sudah disajikan dan Iqamah shalat dikumandangkan, maka dahulukanlah makan malam.” (HR Bukhari dan Muslim)

11. Makan dengan Tiga jari dan Menjilat Jari dan Sisa-sisa (Makan)-nya Dari Ka’ab bin Malik dari bapaknya beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu makan dengan menggunakan tiga jari (untuk yang dapat dimakan dengan tiga jari) dan menjilati jari-jari tersebut (setelah makan) sebelum dibersihkan.” (HR Muslim no. 20232 dan lainnya)

12. Mengambil Makanan yang Terjatuh Dari Jabir bin Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika makanan salah satu kalian jatuh maka hendaklah diambil dan disingkirkan kotoran yang melekat padanya, kemudian hendaknya di makan dan jangan dibiarkan untuk setan…” (HR Muslim no. 2033 dan Ahmad 14218)

13. Tidak Mencela Makanan Dari Abu Hurairah r.a beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak pernah mencela makanan. Jika beliau menyukai satu makanan, maka beliau memakannya. Jika beliau tidak suka, maka beliau meninggalkannya.” (HR. Bukhari no. 5409 dan Muslim no. 2064)

14. Makan Ketika Telah Dingin (tidak Panas) Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Makanan itu tidak boleh disantap kecuali jika asap makanan yang panas sudah hilang.” (Dalam Irwa’ul Ghalil no. 1978 Syaikh al-Albani mengatakan shahih diriwayatkan oleh Imam Baihaqi, 7/2580)

15. Tidak Meniup Air Minum dan Bernapas Pada Gelas Minuman Tersebut. Dari Abu Qatadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian minum maka janganlah mengambil nafas dalam wadah air minumnya.” (HR. Bukhari no. 5630 dan Muslim no. 263)

16. Membaca Doa Ketika Telah Selesai Makan: Alhamdulillahiladzii ath’amanii haadzaa warozaqoniihi min ghoiri haulin minnii wa laa quwwati. “Segala Puji bagi Allah yang telah member makanan ini kepadaku dan telah member rizki kepadaku tanpa daya dan kekuatan dariku.” (HR Abu Dawud no. 4023 dll)

_ disusun dari artikel ust Aris Munandar, S.S M.A. www.muslim.or.id, dan buku Do’a & Wirid ust Yazid Jawas_

Sabtu, 07 Mei 2011

Benarkah “Cinta Tanah Air Sebagian Dari Iman”?


Pada acara kenegaraan atau dalam berbagai macam acara peringatan hari kemerdekaan biasanya hadits ini disampaikan untuk menumbuhkan semangat patriotisme dan menyuburkan rasa kebangsaan. Sehingga hadits ini begitu popular sekali dimasyarakat, dihafal bahkan dianggap sebagai suatu hadits yang diucapkan oleh nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

Namun permasalahannya adalah: benarkah ungkapan tersebut termasuk hadits yang diucapkan oleh nabi Muhmmad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam? Bagaimana dengan substansi makna kandungannya?

Teks Hadits

حب الوطن من لايمان

Hubbul watoni minal iymani (Cinta Tanah Air Termasuk Iman)

Derajat Hadits dan komentar Para Ulama

Tidak ada aslnya. Berikut ucapan para pakar hadits:
As-Shoghoni Rahimahullah berkata: “Termasuk hadits-hadits yang palsu.” [Al-Maudhu’at hlm. 2.]
As-Suyuthi Rahimahullah berkata: “Saya tidak mendapatinya.” [Ad-Durorul Muntatsiroh fil Ahadits al-Musytahiroh hlm. 110]
As-Sakhowi Rahimahullah berkata: “Saya tidak mendapatinya.” [al-Maqosidul Hasanah hlm. 100]
Al-Ghozzi Rahimahullah berkata: “Ini bukan Hadits.” [al-Jiddu al-Hatsits hlm. 32]
Az-Zarkhasyi Rahimahullah berkata: ”Saya belum mendapatinya.” [al-Ashror al-Marfu’ah, Mula al-Qori hlm. 190]
Sayyid Mu’inuddin ash-Shofwi Rahimahullah berkata: “Ini Bukan Hadits.” [al-Ashror al-Marfu’ah, Mula al-Qori hlm. 190].
Mula al Qori berkata: “Tidak ada asalnya menurut para pakar ahli hadits.” [Al-Mashnu’ hlm . 91].
Al-Albani Rahimahullah berkata: “Maudhu’ (palsu).” [Silsilah Ahadits adh-Dhoifah; 36]
Lajnah Daimah yang diketuai oleh Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah mengatakan: “Ucapan ini bukan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, ia hanyalah ucapan yang beredar dilisan manusia lalu dianggap sebagai hadits.”[Fatwa Lajnah Daimah 4/466].

Matan Hadits (kandungan hadits)


Syaikh al-Albani Rahimahullah berkata “…Dan maknanya tidak benar. Sebab cinta negeri sama halnya dengan cinta jiwa dan harta, seseorang tidak terpuji dengan sebab mencintainya lantaran itu sudah tabiat seluruh manusia. Bukankah anda melihat bahwa seluruh manusia berperan serta dalam kecintaan ini, baik kafir maupun mukmin?” [Silsilah Ahadits adh-Dhoifah; 36]
Alloh Azza wa Jalla berfirman:

“Dan sesungguhnya kalau kami perintahkan kepada mereka: “Bunuhlah dirimu atau keluarlah dari kampungmu,” niscaya ,mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka. (QS. An-Nisa’ [4]: 66)

Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang kafir juga mencintai tanah air mereka. Musuh-musuh Islam telah menjadikan hadits ini untuk menghilangkan syiar agama dalam masyarakat dan menggantinya dengan dengan syi’ar kebangsaan, padahal aqidah seorang muslim lebih berharga baginya dari segala apapun.” [Ta’liq Muhammad ash-Shobbagh atas Al-Fawaid al-Maudhu’ah oleh al-Karmi hlm. 103]

Berlebih-lebihan terhadap tanah air bisa sampai pada derajat memberhalakannya. Dan terkadang setan menggambarkannya kepada sebagian mereka bahwa tanah air lebih baik dari surga ‘Adn, sebagaimana seorang di antara mereka mengatakan:
“Anggaplah bahwa surga yang kekal adalah Yaman, Tidak ada sesuatupun yang melebihi tanah air”

Seorang lainnya mengatakan:
“Tanah airku, seandainya aku disibukkan oleh surga darinya. Niscaya jiwaku akan menggugatku di surga menuju tanah airku.” [Silsilah Ahadits Laa Ashla Lahu Salim al-Hilali hlm. 91-92]

Sebab Menyebarnya Hadits
Al-Hafidz asy-Syaukani Rahimahullah berkata sebab menyebarnya hadits palsu seperti ini: “Para ahli sejarah telah meremehkan dalam mengutarakan hadits-hadits bathil seputar keutamaan negeri, lebih-lebih negeri mereka sendiri, mereka sangat meremehkan sekali. Sampai-sampai menyebutkan hadits palsu dan tidak memperingatkannya, sebagaimana dilakukan oleh Ibnu Dabi’ dalam tarikhnya yang berjudul “Qurrotul Uyun bi Akhbaril Yaman al-Maimun” dan kitab lainnya yang berjudul “Bughyatul Mustafid bi Akhbar Madinah Zabid” padahal beliau termasuk ahli hadits.

Maka hendaknya kita waspada dari keyakinan ini atau meriwayatknnya (hadits palsu tersebut), karena kedustaan dalam masalah ini sudah menyebar dan melampaui batas. Semua itu sebabnya adalah fithrah manusia untuk cinta tanah air dan kampung halamannya.” [Al-Fawaid al-Majmu’ah hlm. 436-437]

Apakah Cinta Negeri Terlarang?

Al-Ustadz A. Hasan –Semoga Alloh Azza wa Jalla merohmatinya- berkata: “Tidak ada undang-undang manusia yang tidak terdapat dihukum-hukum agama, larangan atas seorang mencintai bangsa dan tanah airnya malah tidak dilarang, dia cinta terhadap kerbau dan sapinya, kambing dan anjingnya, kelinci dan kucingnya, ayam dan bebeknya.”

Sekali lagi, agama tidak menghalangi seseorang mencintai segala sesuatu termasuk tanah dan pasir di negerinya. Namun janganlah dibawa-bawa agama dalam urusan yang agama tidak menjadikannya urusan. Jangan membawa-bawa kalimat hubbul watani minal iyman (cinta tanah air termasuk iman) sebagai hadits (perkataan) Nabi Shallalu ‘alihi wa Sallam, padahal bukan.

Kalau orang yang cinta tanah air membawakan hadits palsu itu, maka orang yang cinta kucing akan membawakan hadits palsu lain: Hubbul hirroti minal iymani (Cinta Kucing itu sebagian dari iman). [Islam dan Kebangsaan, hadits “Cinta kucing sebagian dari iman” adalah ahdits yang juga palsu]

Bukan Sekedar Kebngsaan

Syaikh Muhammad al-Utsaimin Rahimahullah berkata: “Kita apabila perang hanya untuk membela Negara tidak ada bendanya dengan orang kafir yang juga perang untuk membela Negara mereka. Seorang yang perang hanya untuk membela negeri saja maka dia bukanlah syahid, namun kewajjiban kita sebagai muslim dan tinggal dinegeri islam adalah untuk perang karena islam yang ada dinegeri kita. Perhatikan baik-baik perbedaan ini, kita berperang karena islam yang ada dinegeri kita, adapun sekedar Karena negeri saja maka ini adalah niat bathil yang tidak berfaedah bagi seseorang.
Adapun ungkapan yang dianggap hadits “Cinta negeri Termasuk keimanan” maka ini adalah dusta.

Cinta Negara, apabila Negara tersebut adalah Negara islam maka kita mencintainya karena islamnya, tidak ada bendanya apakah Negara kelahiran kita atau Negara islam yang jauh, maka wajib kita unuk membelanya karena Negara islam. Kesimpulannya, seharusnya kita mengetahui bahwa niat yang benar tatkala perang adalah untuk membela islam di Negara kita atau membela Negara kita karena Negara Islam, bukan hanya karena sekaedar Negara saja.” [Syarah Riyadhus Sholihin 1/66-67]

Al-Ustadz A. Hassan mengatakan: “Dalam mencintai tanah air secara kebangsaan itu ada beberapa kesalahannya yang besar bagi orang yang beragama islam; Pertama; yang sebesar-besarnya, ialah menjalankan hokum-hukum yang bukan dari Alloh Azza wa Jalla dan Rosul-Nya Shallalahu ‘alaihi wa Sallam. Kedua: dengan terpaksa, karena pembawaan kebangsaan, memandang muslim dinegeri yang bukan sebangsa dan setanah air dengannya sebagai orang asing, padahal sebenarnya ia harus memandang seperti saudara. Ketiga: Memutuskan hubungan dengan negeri islam yang lain dengan alasan mereka bukan sebangsa dan setanah air, walaupun Alloh Azza wa Jalla dan Rosul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah megnatakan kita sesame muslim bersaudara dan harus bersatu. [Islam dan Kebangsaan hlm. 191]

Dari Sini kita dapat mengetahui kesalahan ucapan sebagian tokoh yang mengatakan: “Kita tidak memerangi Yahudi karena masalah aqidah!! Kita memerangi mereka karena tanah!!! Kita tidak memerangi mereka karena kafir!! Tetapi karena mereka merampas tanah kita tanpa alasan yang benar.!!" [Koran ar-Royah, Qothor, edisi 4696, Rabu 24 Sya’ban 1415 H, sebagaimana dalam Madarik Nadhor Abdul Malik al-Jazairi hlm. 248-249]

Disalin dari Majalah Al-Furqon Edisi 01 th. Ke-8 1429/2008. Ditulis oleh Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi

@wahyuibnuatman

Selasa, 03 Mei 2011

Menasihati Pemerintah Degnan Benar*


Islam adalah agama yang sempurna. Perihal hidup ummatnya, dari A sampai Z telah diatur dengan sangat detail. Begitu pula terkait dengan hubungan rakyat dengan penguasa kaum muslimin (pemerintah), Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengatur perihal tersebut. Namun banyak orang, bahkan yang mengaku Da’i Islam, salah melangkah dalm perkara ini.

Diantara prinsip Ahlu Sunnah wal Jama’ah[1] adalah tidak mengadakan provokasi atau penghasutan untuk memberontak kepada penguasa meskipun penguasa itu berbuat Zhalim. Tidak boleh melakukan provokasi baik diatas mimbar, tempat khusus atau pun umum, dan media lainnya. Karena yang demikian menyalahi petunjuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Salafush Shalih (pendahulu ummat yang shalih).

Rasulullaah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

”Barang siapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakan dengan terang-terangan. Hendaklah ia pegang tangannya (penguasa) lalu menyendiri dengannya. Jika penguasa itu mau mendengar nasihat itu, maka itu yang terbaik dan bila si penguasa itu enggan (tidak mau menerima), maka sungguh ia (yang menasihati) telah melaksanakan kewajiban amanah yang dibebankan kepadanya” [2]

Harus kita ingat, jika sudah ada dalil yang shahih, maka wajib bagi seorang muslim untuk taat kepada Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hujjah (dalil/argumentasi) itu terdapat pada hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih dan tidak boleh menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan beralasan kepada perkataan ulama atau perbuatan satu kaum atau siapa saja.

Ahlu Sunnah tidak suka dan tidak rela dengan kezhaliman dan kemunkaran yang dilakukan oleh penguasa atau lainnya. Akan tetapi cara mengingkari kemunkaran yang dilakukan oleh penguasa dan cara menasihati penguasa harus sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan atsar Salafush Shalih.

Menjelek-jelekan penguasa, membeberkan aibnya, menyebutkan kekurangannya, menampakkan kebencian kepadanya dihadapan umum atau melalui media lainnya dan mengadakan provokasi, hal itu bukan cara yang benar. Bahkan cara ini menyalahi petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdosa karena menyalahi sunnah, menimbulkan kerusakan dan bahaya yang lebih besar serta tidak ada manfaatnya. Orang yang melakukan hal demikian akan dihinakan Allah pada hari Kiamat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

”Barang siapa yang memuliakan penguasa di dunia, akan dimuliakan Allah di akhirat, dan barang siapa yang menghinakan penguasa di dunia, maka Allah akan hinakan dia pada hari kiamat [3]

Imam Ibnu ’Ashim dalam kitabnya, As-Sunnah, memberikan bab: “Apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan untuk memuliakan penguasa dan melarang keras untuk menghinakannya.” [4]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kita untuk bersabar terhadap kezhaliman penguasa. Dan dengan kesabaran itu Allah akan berikan ganjaran yang besar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

”Barang siapa yang tidak menyukai sesuatu dari pempinnya maka hendaklah ia bersabar terhadpnya. Sebab, tidaklah seorang manusia keluar dari penguasa lalu ia mati diatasnya, melainkan ia mati dalam keadaan Jahiliayah.”[5]

Ahlu Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa menaati pemimpin secara ma’ruf merupakan salah satu dasar utama Aqidah. Kewajiban tersebut selama mereka (pemimpin kaum muslimin) tidak memerintahkan untuk berbuat kemaksiatan. Karena menaati mereka (sekalipunpun mereka zhalim) termasuk ketaatan kepada Allah dan kketaatan kepada Allah ’Azza wa Jalla adalah Wajib.
Sebagaimana Firman Allah ’Azza wa Jalla:

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad) dan ulil Amri (pemegang kekuasaan) daiatara kamu...”
(QS. An-Nisaa’: 59)

Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

”Tidak (boleh) taat (terhadap pemerintah) yang didalamnya terdapat kemaksiatan kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam kebajikan.”[6]

Juga sabda Beliau:

”Wajib atas seorang Muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) pada apa-apa yang ia cintai kecuali jika ia disuruh untuk berbuat kemaksiatan. Jika ia disuruh untuk berbuat kemaksiatan, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat.” [7]

Apabila pemerintah kaum muslimin memerintahkan perbuatan maksiat, saat itulah kita dilarang untuk mentaatinya namun tetap wajib untuk taat dalam kebenaran lainnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:

”...Aku wasiatkan kepada kalian agar tetap bertaqwa kepada Allah Yang Mahamulia lagi Mahatinggi, tetaplah mendengar dan mentaati, walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak Habasyah...” [8]

Perbuatan maksiat kepada pemimpin juga berarti maksait kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:

”Barang siapa yang taat kepadaku berarti ia telah taat kepada Allah dan barang siapa yang durhaka kepadaku, berarti ia telah durhaka kepada Allah. Barang siapa yang taat kepada amirku (yang muslim) maka ia telah taat kepadaku dan barang siapa yang maksiat kepada amirku, maka ia maksiat kepadaku.”[9]

Maka al-Imam Ibnu Abil ’Izz rahumahullah (wafat 792 H) berkata: ”Hukum mentaati ulil amri adalah wajib (selama tidak dalam kemaksiatan) meskipun mereka berbuat zhalim, karena kalau keluar dari ketaatan kepada mereka akan menimbulkan kerusakan yang berlipat ganda dibanding dengan kezhaliman penguasa itu sendiri. Bahkan bersabar terahadap kezhaliman pemimpin dapat melebur dosa-dosa dan dapat melipatgandakan pahala. Karena Allah ’Azza wa Jalla tak akan menguasakan mereka atas diri kita melainkan disebabkan kerusakan amal perbuatan kita juga. Balasan itu sesuai pada amal perbuatan. Maka hendaklah kita bersungguh-sungguh memohon ampunan, bertaubat dan memperbaiki amal perbuatan.

Allah ’Azza wa Jalla berfirman:

“dan musibah apapun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syuraa: 30)

Allah ’Azza wa Jalla juga berfirman:

“Dan demikianlah kami jadikan sebagian orang-orang zhalim berteman dengan sesamannya sesuai dengan apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-An’aam: 129)

Syaikh al-Albani rahumahullah seringkali mengutip perkataan seorang Da’i : “Tegakkanlah negara islam di dalam hatimu, niscaya akan tegak islam di negaramu.”

Cara menghindari diri dari kezhaliman penguasa bukan dengan cara menurut sangkaan sebagian orang, yaitu dengan demonstrasi, memberontak, mengangkat senjata ataupun dengan cara kudeta, karena yang demikian itu termasuk hal yang baru yang diada-adakan dalam agama ini dan menyelisishi nash-nash syari’at yang memerintahkan untuk merubah diri kita lebih dahulu. Karena pasti Allah akan menolong hamba-Nya yang menolong agama-Nya.

Berdoa untuk penguasa adalah hal yang sering kita lupa. Simaklah perkataan Fudhail bin ’Iyadh rohimahullah: ’jikalau aku mempunyai do’a yang baik yang akan dikabulkan, maka semuanya akan aku tujukan kepada para pemimpin.’ Ia ditanya: ’Wahai Abu ’Ali jelaskanlah maksud ucapan tersebut?’ Beliau berkata: ’Apabila do’a itu hanya aku tujukan bagi diriku, tidak lebih hanya bermanfaat bagi diriku, namun apabila aku tujukan kepada pemimpin dan ternyata pemimpin berubah menjadi baik, maka semua orang dan negara akan merasakan manfaat kebaikannya.’[10]

Maka nasihatilah pemimpin dengan baik, tidak seperti yang telah dilarang oleh rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Do’akan mereka, dan ubah diri kita terlebih dahulu menjadi (berisalam) lebih baik. Karena Penguasa adalah representasi dari rakyatnya. Rakyat baik, penguasa akan baik Insya Allah.

Wallahu’alam bi as-Showwab

*Diringkas dari buku Syarah ’Aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah, Yazid bin Abdul Qadir Jawwas, terbitan pustaka imam Asy-Syafi’i, cetakan kedelapan 2010. Dari prinsip ke-74 dan 75 hal. 568-576.

[1] Mereka yang menempuh (beragama islam) seperti apa yang pernah ditempuh oleh Rasulullah rahumahullah dan para sahabatnya.

[2] HR Ibnu Abi ’Ashim dalam as-Sunnah (II/507-508, bab kaifa Nashiihatur Ra’iyyah lil Wulaat, no. 1096, 1097, 1098), Ahmad (III/403-404) dan Al-Hakim (III/290) dari ’Iyadh bin Ghunm radiyallahuanhu.

[3] HR. Ahmad (V/42, 48-49) dari Abi Barkah radiyallahuanhu. Hadits ini Hasan.

[4] Lihat as-Sunnah (II/475-476) oleh Ibnu Abi ‘Ashim.

[5] HR. Muslim (no. 1849 {56})

[6] HR. Al Bukhari (no. 4340, 7257), Muslim (no. 1840) dan yang lainnya. Dari sahabat ‘Ali Radhiyallahuanhu.

[7] HR. Al Bukhari (no. 2955, 7144), Muslim (no. 1839) dari Ibnu Umar Radhiyallahuanhu.

[8] HR. Ahmad (IV/126,127) Abu Dawud (no 4607), al-Hakim (I/9596) dan yang lainnya, dari sahabat ‘Irbadh bin Syariah Radhiyallahuanhu.

[9] HR Al-Bukhari (no 7137), Muslim (no. 1835 {3}) dan yang lainnya dari sahabat Abu Hurarirah Radhiyallahuanhu.

[10] Lihat Syarhus Sunnah (no. 136), oleh Imam al-Barbahary.

Senin, 02 Mei 2011

Ali bin Abi Thalib Berbicara Tentang Calon Penghuni Syurga


Pada suatu hari seorang sahabat bernama Hammam bertanya kepada Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu: “Wahai Amirul Mu’minin, Jelaskan kepadaku sifat-sifat orang yang bertakwa sehingga seakan-akan aku melihat mereka.” Ali menjawab, “Mereka adalah orang yang jujur dalam berkata, berpakaian dengan sederhana, dan berjalan dengan gaya tidak sombong. Mereka memelihara pandangan matanya dari hal-hal yang diharamkan Alloh, dan telinga mereka selalu terpasang untuk mendengar ilmu yang bermanfaat.

Jiwa mereka tetap tenang, baik ketika menerima anugrah maupun saat sedang menghadapi cobaan. Seandainya tidak ada ajal yang telah ditentukan oleh Alloh bagi mereka, jiwa mereka tidak akan mau menyatu dengan raga mereka barang sekejap supaya selalu bisa dekat dengan Alloh untuk melampiaskan rindu dendam. Di mata mereka yang besar hanyalah Alloh, sedangkan selain-Nya semua terlalu kecil. Hati mereka kaya raya, orang lain dijamin aman dari kejahatan mereka, tubuh mereka kurus, tuntutan kebutuhan mereka sangat sederhana, dan jiwa mereka suci bersih.

Mereka rela menderita untuk sementara waktu demi kebahagiaan yang panjang dan abadi. Mereka sibuk dalam suatu perniagaan menguntungkan yang dikendalikan dan dijamin oleh Alloh. Dunia menginginkan mereka, tetapi mereka tidak begitu-menginginkannya.

Diwaktu malam mereka tekun dan khusuk membaca Al-Qur’an. Ketika membaca ayat tentang rahmat Alloh, jiwa mereka bergolak penuh semangat, harapan dan kerinduan. Tetapi ketika membaca ayat tentang siksa Alloh, hati mereka tunduk dan gentar. Mereka merasa seolah-olah jeritan tangis pilu para penghuninya begitu dekat di telinga, lalu mereka memohon agar Alloh membebaskan mereka daripadanya.

Sedang pada siang hari mereka tampil sebagai sosok yang santun, yang berbakti dan bertakwa. Rasa takut siksa Alloh membuat mereka nampak bigutu murung, sehingga orang lain melihat mereka sedang sakit. Padahal sejatinya mereka sedang prihatin lantaran masih terlalui sedikit amal-amal shaleh yang baru mereka kerjakan, sementara dosa-dosa yang telah mereka langgar sudah terlalu banyak.

Mereka merasa curiga terhadap diri sendiri dan merasa kasihan terhadap amal-amal yang masih sangat minim. Karena itu mereka takut dan risih sekali ketika orang lain memuji mereka. Dengan jujur mereka berkata pada Alloh, “Ya Alloh, kami lebih tahu diri kami daripada orang lain. Dan Engkau lebih tahu diri kami daripada diri kami sendiri. Ya Alloh, jangan hukum kami disebabkan pujian mereka itu. Ampunilah kami atas sesuatu yang mereka tidak ketahui itu.”

Sifat lain yang menjadi ciri orang-orang yang bertakwah ialah, komitmen agamanya yang kuat, gigih dalam kelembutan, iman dalam keyakinan, bersemangat dalam keilmuan, beramal dalam kesatuan, bersahaja dalam kekayaan, kusyu’ dalam beribadah, tampil prima dan percaya diri dalam kemiskinan, sabar dalam kesulitan, mencari yang halal-halal, konsisten dalam kebenaran, dan menghindar dari keserakahan.
Mereka tekun melakukan amal-amal shaleh dengan hati yang waspada. Pagi hari mereka bertekat untuk selalu mengingat Alloh dalam melakukan semua aktivitas, dan sore harinya mereka mensyukurinya. Menjelang tidur mereka takut lalai dari mengingat Alloh, dan bangun tidur mereka gembira karena ternyata Alloh masih memberikan mereka anugerah serta rahmat.

Apabila tengah menghadapi kesulitan, mereka hanya mengandalkan Alloh. Idolanya adalah hal-hal yang tidak fana. Mereka tidak menyukai sesuatu yang tidak abadi. Mereka padukan kesantunan dengan ilmu, dan ucapan dengan perbuatan. Harapan mereka tidak muluk-muluk, sehingga mereka jarang melakukan kesalahan-kesalahan.

Hati mereka khusyu’ dan jiwa mereka tidak serakah, sehingga semua urusan mereka anggap gampang. Mereka sanggup mengendalikan nafsu dan menahan amarah. Orang lain akan mendapatkan kebajikan-kebajikan dari mereka, bukan kejahatan-kejahatan. Mereka memaafkan orang yang justeru berbuat zhalim kepada mereka. Mereka berlaku dermawan kepada siapa saja yang justeru kikir kepadanya. Dan mereka mau menyambung hubungan kekeluargaan arau persaudaraan dengan orang yang justeru mencoba memutuskannya.

Mereka tidak mau menjawab kejahatan dengan kejahatan, melainkan sebailknya. Kata-kata mereka sangat lembut. Bagi mereka seribu kawan terlalu sedikit, dan satu lawan terlalu banyak. Mereka sabar dalam menghadapi cobaan, dan bersyukur saat menerima nikmat. Mereka tetap berlaku santun sekalipun pada orang yang membencinya. Mereka tidak mau mengecewakan orang yang mencintainya.

Mereka mengakui kebenaran sebelum diminta untuk mempersaksikannya. Mereka tidak mau menyia-nyiakan amanat yang dipercayakan kepadanya. Mereka tidak suka saling mencela dan memberi gelar yang jelek. Mereka tidak mau menyakiti tetangga. Jika ada yang berbuat aniaya mereka tetap sabar, dan menyerahkan segalanya hanya kepada Alloh.

Bergaul dengan mereka orang akan merasa aman dan untung. Semua aktivitas mereka selalu memperhitungkan kepentingan-kepentingan akhirat. Mereka tidak mau menyakiti dan mengecewakan siapapun, termasuk kepada orang-orang yang tidak suka kepada diri mereka.

Dijelaskan oleh syaikh Thaha Abdullah Afifi falam kitabnya Mi’ah wa Isyrun Miftahan min Mahtihil Jannah, belau berkata bahwa riwayat diatas adalah salah satu yang paling lengkap dan paling bagus tentang sifat-sifat orang yang bertakwa…

[Disalin dari kitab Indahnya Syurga Dahsyatnya Neraka, disusun oleh Kelompok telaah Kitab Ar-Risalah, Cetakan I Oktober 2008, penerbit Granada Media Utama, Hlm 100-102]

Bijak Menyikapi Ahmadiyah

Oleh: Wahyu Ibnu Atman

Permasalahan Ahmadiyah masih terus terjadi di banyak belahan dunia, begitupun di Indonesia. Akhir-akhir ini permasalahan Ahmadiyah kembali mencuat. Penghakiman secara brutal atas jamaah Ahmadiyah oleh oknum-oknum yang tidak jelas asalnya terjadi sudah. Masyarakat Indonesia yang dikenal santun kini menjadi ‘ganas’ layaknya hewan yang perutnya belum terisi dengan makanan, buas. Masyarakat seakan sudah tidak sabar dan tidak lagi menaruh kepercayaan kepada penguasa yang seharusnya dapat mengatasi hal tersebut. Terlebih, kasus Ahmadiyah bukanlah kasus yang baru, namun sudah sejak lama exist mencuri perhatian para pemerhati berita.

Sebagai umat Islam, tentu kita harus mengembalikan segalanya pada Al-Qur’an dan Assunnah yang shahih, terkait masalah-masalah yang diperdebatkan, termasuk diantaranya masalah Ahmadiyah. Mengembalikan segala sesuatunya pada Al-Qur’an dan Assunnah adalah cara yang benar dan paling bijak, karena seperti itulah seharusnya seorang mukmin bersikap.

Seperti yang telah kita ketahui bersama, Ahmadiyah adalah agama yang dibawa oleh Mirza Ghulam Ahmad Al-Qadiyani. Ahmadiyah muncul pada 1900M. telah banyak buku dan tulisan-tulisan para ulama yang membahas tentang Ahmadiyah. Banyak dari tulisan tersebut yang menyebutkan kesesatan dari jamaah Ahmadiyah. Salah satu yang merupakan ajaran Ahmadiyah adalah menjadikan pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad, sebagai Nabi.

Setelah cukup dikenal oleh masyarakat muslim di India karena keberaniannya membantah agama kristen dan Hindu, pada tahun 1885M, Mirza Ghulam Ahmad memproklamirkan diri sebagai mujaddid (pemberharu agama) dengan mendapat bantuan dan dukungan penuh dari penjajah Inggris yang saat itu menguasai India. Pada tahun 1891M, ia mengklaim bahwa dirinya adalah Imam Mahdi. Kemudian pada tahun itu juga, ia mengaku sebagai Al-Masih. Dan klimaksnya pada tahun 1901M, Mirza Ghulam Ahmad mendeklarasikan diri sebagai Nabi baru, yang menurutnya lebih mulia dari para Nabi dan Rasul sebelumnya.

Hal diatas adalah satu dari sekian banyak ajaran Ahmadiyah yang bertentangan dengan ajaran Agama Islam yang selama ini kita pelajari. Kita tahu, Ahlu Sunnah wal Jama’ah menyaksikan dan meyakini bahwa Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam adalah penutup para Nabi ’alaihimus salaam. Begitu banyak dalil dari Al-Qur’an dan Assunnah yang shahih yang menunjukkan pada hal tersebut. Diantaranya adalah Firman Allah Azza wa Jalla:
”Muhammad itu bukanlah bapak dari seorang di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzab: 40)

Rasulullah-pun telah bersabda:
”Aku memiliki lima nama, aku Muhammad (yang terpuji), aku adalah ahmad (yang banyak memuji), aku adalah al-Maahi (penghapus) dimana melalui perantaraku Allah menghapus kekufuran. Aku adalah al-Haasyir (pengumpul) yang mana manusia akan dikumpulkan di hadapanku. Aku juga mempunyai nama al-’Aqib (belakangan/penutup)-tidak ada lagi Nabi yang datang sesudahku.”(Shahih. HR. Bukhari no. 3532, Muslim no. 2354, Tirmidzi no. 2840, dari Shahabat Zubair bin Muth’im Radhiyallahu ‘anhu).

Dua dalil diatas saya kira cukup untuk menunjukkan bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah nabi penutup, yang tidak ada lagi nabi setelahnya. Bila ada yang orang yang mendakwahkan adanya kenabian sesudah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia telah sesat dan kufur. (Yazid bin Abdul Qadir Jawwas, Konsekuensi Cinta kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam: 2010).

Mirza Ghulam Ahmad adalah pendusta besar, Dajjal yang telah disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salla, dalam sabdanya:
“…Dan sesungguhnya akan muncul pada umatku pendusta yang jumlahnya tiga puluh orang, mereka semua mengaku sebagai Nabi, sedangkan aku adalah penutup para Nabi dan tidak ada Nabi sepeninggalku.”
(Shahih. HR Ahmad V/278, Abu Dawud no 4252, Ibnu Majah no. 3952 dari sahabat Tsauban Radhiyallahu ‘anhu)
Jelaslah bahwa ajaran yang dibawa oleh seorang pendusta adalah dusta, maka hendaknya kita berhati-hati dengan tipu daya mereka.

Disisi lain juga diketahui bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah orang yang berguru pada pecandu opium dan ganja. Dia (Mirza Ghulam Ahmad) berkata : “Aku belajar Al-Qur’an dan kitab-kitab berbahasa Persia dengan ustadz Fadhl Ilahi. Sedangkan sharaf dan nahwu serta ilmu pengobatan, aku pelajari dari ustadz Fadhl Ahmad”. Sesuai dengan keterangan Mahmud Ahmad, salah seorang anaknya di Koran Al-Fadhl (5 Februari 1929), milik kelompok mereka, sebagian guru yang mengajar Ghulam Ahmad adalah pecandu opium dan ganja. (Al-Qadiayaniah Dirasat Wa Tahlil, karya Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir, Idaratu Turjumani As-Sunnah, Lahore, Pakistan, tanpa tahun) Tulisan diatas dibawakan oleh Ustadz Muhammad Ashim dalam artikelnya yang berjudul Siapakah Mirza Ghulam Ahmad?

Saya kira cukuplah pembuktian bahwa Mirza Ghulam Ahmad, sang pendiri Ahmadiyah, adalah seorang pendusta yang mengaku sebagi Nabi, dan itu membuktikan bahwa Ahmadiyah adalah bukan bagian dari Islam. Karena kedustaannya yang mengaku sebagai Nabi adalah kedustaan yang paling besar. Belum lagi bila kita membicarakan masalah kitab suci yang digunakan oleh Ahmadiyah adalah bukan Al-qur’an melainkan At-tadzkiroh, semakin menambah bukti keluarnya mereka dari agama yang Haq ini (baca: Islam).

Sebagai kaum Muslimin, kita wajib untuk mengingkari dan berlepas diri dari kesesatan dan kekufuran Ahmadiyah. Namun bukan berarti kita mengambil tindakan sendiri dengan menyerang mereka secara brutal. Karena sentuhan kekuatan fisik kepada mereka hanya boleh dilakukan oleh pemerintah negeri kaum muslimin ini. Penyerangan terhadap mereka (jama’ah Ahmadiyah) hanya akan menimbulkan kerusakan-kerusakan lainnya. Mendorong pemerintah untuk lebih bijak dan cepat adalah hal terbijak yang bisa dilakukan oleh kaum muslimin. Bukan dengan berdemo, koar-koar di depan gedung DPR atau ditengah jalan raya umum, namun dengan dialog dan mengirim surat yang kita tujukan kepada pemerintah kita.

Rasulullah bersabda:
”Barang siapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkan dengan terang-terangan. Hendaklah ia pegang tangannya lalu menyendiri dengannya. Jika penguasa itu mau mendengar nasihat itu, maka itu yang terbaik dan bila si penguasa itu enggan (tidak mau menerima), maka sungguh ia telah melaksanakan kewajiban amanah yang dibebankan kepadanya.” (HR Ibnu Abi ’Ashim dalam as-sunnah II/507-508, Ahmad III/ 403-404), dan al-Hakim III/290 dari ’Iyadh bin Ghunm Rhadiyallahu ’anhu)

Prinsip Ahlu Sunnah wal Jama’ah adalah tidak mengadakan provokasi atau penghasutan untuk memberontak kepada penguasa sekalipun penguasa itu berbuat zhalim. (Yazid bin Abdul Qadir Jawwas, Syarah Aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah: 2004)


Melanggar peraturan adalah dilarang dalam islam, selama peraturan tersebut tidak mengajak kita bermaksiat pada Allah Azza wa Jalla. Menyikapi masalah dengan mengembalikannya pada Alqur’an dan As-sunnah adalah keniscayaan penyelesaian dari masalah tersebut. Agama islam adalah agama dalil, bukan agama ra’yuu (akal). Apa yang baik menurut kita belum tentu baik menurut Allah ’Azza wa Jalla, begitu pula sebaliknya. Melakukan kekerasan kepada mereka tidaklah menyelesaikan masalah selama tidak dipimpin (dilakukan) oleh pemerintah.

Kita juga harus berhati-hati karena action yang kita tujukan kepada penguasa. Tidak boleh kita membeberkan kejelekan penguasa, menyebut aib dan kekurangannya, menyapaikan kebencian dalam mimbar maupun tulisan karena Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam sendiri yang telah mengingatkan kita:

”Barang siapa yang memuliakan penguasa didunia, akan dimuliakan Allah di akhirat, dan barang siapa yang menghnakan penmguasa di dunia, maka Allah akan hinakan dia pada hari kiamat.” (Hasan. HR Ahmad V/42 dari Abi Bakrah radhiyallahu anhu)

Agama islam ini telah sempurna. Semua telah diatur (dalam hal aqidah dan ibadah) dengan tidak ada penambahan-penambahan lagi atasnya. Barang siapa melakukan penambahan dalam agama ini, maka ia telah menganggap rasul shallallahu ’alaihi wa sallam telah berkhianat menyembunyikan risalah kenabian yang Allah ’Azza wa Jalla berikan (Syaikh Al-Walid bin Muhammad Nabih bin Saif An-Nashr dalam buku syarah Ushul As-sunnah Imam Ahmad bin Hambal, ini merupakan perkataan al-Imam Malik).

Telah tegak bahwa Ahmadiyah adalah sesat dan menyesatkan, mereka berdiri diatas kesesatan dan kesalahan, namun kita tidak boleh melakukan tindakan yang salah dengan mengatasnamakan pengingkaran terhadap Ahmadiyah. Kemaksiatan tidak boleh dibalas dengan kemaksiatan, semua telah Allah ’azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wa Sallam ajarkan dalam Islam. Sebagai muslim yang taat, maka dengar dan taat apa yang telah tertulis di Alqur’an dan as-Sunnah yang shahih dengan pemahaman para shahabat.

Wallahu’alam bi as-shawwab

Sumber-sumber:

Jawas, Yazid bin Abdul Qadir. 2010. Syarah Aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i.

Jawas, Yazid bin Abdul Qadir. 2010. Konsekuensi Cinta Kepada Nabi Muhamad. Jakarta: Pustaka At-Taqwa.

An-Nashr, Al Walid bin Muhammad Nabih bin Saif. 2009. Syarah Ushul As-Sunnah Imam Ahmad bin Hambal. Jakarta: Darus Sunnah

Ashim , Muhammad. SIAPAKAH MIRZA GHULAM AHMAD. www.almanhaj.or.id (25 Februari 2010)

AHMADIYAH KELOMPOK PENGEKOR NABI PALSU Disalin dari Majalah Fatawa Vol. 06. Th. II 1425H/2004M. Disusun dan dialihbahasakan Abu Asiah, Alamat Redaksi Islamic Center Bin Baz, Karanggayam, Sitimulyo, Piyungan, Bantul – Yogyakarta] www.almanhaj.or.id (25 Februari 2010)

Kamis, 28 April 2011

Bom Bunuh Diri, Apa Hukumnya?*

Oleh: Wahyu Ibnu Atman

Masih hangat terdengar oleh hampir setiap pasang telinga di negeri ini (Indonesia), meledakkan dirinya seorang pemuda disebuah masjid saat shalat jum’at sedang berlangsung. Bom bunuh diri, atau yang para pelakunya sering menyebutnya dengan ‘bom syahid’ kembali terulang, setelah sebelumnya pun negeri ini sempat ‘geger’ dengan kasus bom buku yang menurut pihak yang berwenang, hampir semuanya memiliki satu motif, Jihad di Jalan Alloh. Namun benarkah itu semua memang merupakan Jihad fii Sabilillah?

Kita tidak perlu ragu dan menolak, bahwa Jihad Fii Sabilillah adalah syariat yang diwajibkan dalam Islam. Berdasarkan Firman Alloh:

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (QS Al-Baqoroh: 126)

Dan masih banyak lagi ayat Al-Qur’an yang mewajibkan jihad.

Empat Imam Madzhab dan lainnya telah berkonsensus bahwa jihad fii sabilillah hukumnya adalah fardhu kifayah, apabila sebagian muslim telah melaksanakannya, maka gugur kewajiban atas yang lainnya. Kalau tidak ada yang melaksanakannya maka berdosa seluruhnya.

Jihad Fii Sabilillah baru dapat dilakukan apabila telah terpenuhi atasnya 4 hal:
1. Adanya seorang Imam (pemimpin), artinya kita harus berjihad bersama pemimpin pemerintah kaum muslimin. Jihad tidak dibenarkan sendiri-sendiri.
2. Adanya Daulah (Negara). Perlu diketahui bahwa Indoensia adalah termasug negara muslim, karena syiar-syiar islam dapat berlangsung (Adzan, Shalat ‘ied, Shalat Jum’at dan lain-lain).
3. Ada bendera Jihad
4. Dan adannya kekuatan atau kemampun. Syaikh Utsaimin dan Syaikh al-albani Rohimahumullah mengatakan bahwa, kaum muslimin belum dapat berjihad saat ini melawan negeri kaum kafirin, karena belum memiliki kekuatan dalam hal iman dan persenjataan.

Jihad ke medan perang hanya dilakukan oleh muslim (laki-laki) sedangkan muslimah (perempuan) maka jihadnya adalah dengan Haji dan Umrah. Hal ini sebagaimana tercantum pada Hadits. ketika ditanaya tentang jihad oleh ‘Aisyah Rasulullah menajwab: “…Kaum wanita wajib berjihad. Jihad yang tidak ada peperangan didalamnya, yaitu (ibadah) haji dan ‘umrah” [HR Bukhari no.1520]
lalu bagaimana dengan Hukum Bom Bunuh diri?

Kita mengetahui bahwa syariat islam datang untuk melindungi 5 hal penting, yakni Agama, Jiwa, Harta, Akal, dan kehormatan. Artinya setiap syari’at yang Islam bawa pada hakikatnya ada untuk melindungi ke-5 hal penting diatas. Bila dikatakan bahwa bom bunuh diri merupakan bagian dari syariat Islam, maka seharusnya kegiatan tersebut melindungi 5 hal yang telah disebutkan diatas. Mari kita lihat apakah Bom Bunuh diri melindungi 5 hal penting diatas?

Jelas sudah bahwa kegiatan Bom bunuh diri setidaknya dapat menyebabkan beberapa hal:
1. Membunuh Jiwa, baik Muslimin maupun non Muslim. Karena membunuh keduanya adalah Haram hukumnya (kecuali pada Non Muslim yang memerangi kaum Muslimin). Allah Berfirman:

"Oleh karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi bani Israel, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh seluruhnya". (QS Al Maidah 32)

Membunuh seorang dosanya sama dengan membunuh seluruh umat manusia. Sedangkan orang non Islam yang ada di negeri ini adalah orang-orang yang dilindungi oleh pemerintah kita, dan haram hukumnya untuk diganggu, termasuk dibunuh.
2. Mengandung unsur yang merusak harta sedangakn islam melindunginya.
3. Menakut-nakuti umat.
4. Mengandung unsur perusakan terhadap bumi.

Beberapa hal yang disebutkan diatas jelas merupakan hal-hal yang dilindungi oleh syari’at. Bilamana seorang muslim saja diperintahkan untuk menyingkirkan batu dijalan yang dapat mengganggu orang (dalam hadits disebutkan bahwa itu adalah serendah-rendahnya iman), maka tidak mungkin bom bunuh diri, yang menyebabkan kerusakan begitu besar, merupakan bagian dari syariat islam. Bahkan kegiatan itu sendiri bertentangan dengan syariat islam. Dan dalam Bom Bunuh diri pun tidak terpenuhi didalamnya 4 syarat Jihad yang telah disebutkan diatas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Bom bunuh diri bukanlah bagian dari jihad. Selain itu juga telah ada pula fatwa dari Para Ulama Saudi Arabia akan keahraman bom bunuh diri.
Islam memang mensyariatkan Jihad Fii Sabilillah, namun seluruh ibadah, termasuk didalamnya Jihad, harus sesuai dengan apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan dan contohkan. Karena syarat diterminya ibadah adalah dua hal, Ikhlas ditujukan hanya kepada Alloh, dan Sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, selainnya maka ibadah tersebut sia-sia.
Bom Bunuh diri adalah Haram dalam islam sesuai dengan dali-dalil yang ada. Entah kemudian disebut dengan Bom Syahid atau apapun, bila hakikatnya masih tetap sama, maka perubahan nama tidaklah mengubah hukum.

Orang yang melakukan bom bunuh diri dihukumi mati bunuh diri, dan di akhirat kelak akan dibalas sesuai dengan apa dia membunuh dirinya sendiri. Berdasarkan Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

"Barangsiapa membunuh dirinya sendiri di dunia dengan cara apapun, maka Allah akan menghukum dia dengan hal yang sama (yang dia lakukan yang menyebabkan dia terbunuh) di hari kiamat" [Diriwayatkan oleh Abu 'Awanah dalam Mustakhraj-nya, dari Tsabit bin Ad Dhahak radhiyallahu 'anhu].

Maka, hendaklah kita memahami Islam dengan Al-Qur’an dan Assunnah yang shahih sesuai dengan pemahaman para sahabat. Agar tidak tersesat dalam pemahaman-pemahaman yang menyelesihi ajaran Islam itu sendiri.

Wallahu’alam bish-showab

*Merujuk pada Kitab Syarah Aqidah Ahlusunnah wal Jama’ah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas dan Fatwa Hai’ah Kibaril Ulama (majelis Ulama Senior), 13 Rabi'ul Awal 1424, lih http://www.fatwa-online.com/news/0030518.htm.

Rabu, 27 April 2011

Hukum Berjual-beli di Masjid

Oleh : Wahyu Ibnu Atman

Islam adalah agama yang mengatur kehidupan pemeluknya dengan sangat lengkap. Tidak akan pernah kita temukan agama selengkap islam. Bahkan dari hal kecil layaknya adab di kamar mandi, mulai dari masuk, didalam, sampai keluar. Semua telah di ajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam. Bila hal kecil seperti itu saja—adab dikamar mandi—dijelaskan dengan detail oleh islam, apa lagi selainnya yang lebih besar.

Tidak ketinggalan tentang jual beli pun telah diatur oleh islam, kaidah besar mengatakan dalam muamalah segalanya diperbolehkan kecuali yang diharamkan. Berbeda dengan ibadah yang tauqifyah, artinya berhenti kepada dalil saja, semua ibadah hukum asalnya haram untuk dilakukan kecuali yang disyariatkan melalui Al-Qur’an dan Assunnah yang Shahih.[lih. Syarah Ushul As-sunnah Imam Ahmad bin Hambal, oleh Al-Walid bin Muhammad Nabih bin Saif An-Nashr]

Bila melihat kenyataan yang ada, masih banyak dari kita (termasuk saya) yang belum mengetahui hukum-hukum terkait muamalah secara benar. Karena itulah pada kesempatan ini saya akan mencoba untuk berbagi terkait masalah hukum jual beli di Masjid, yang telah dijelaskan oleh ahlul ilm (ahli ilmu). Tulisan dibahwah ini, saya salin dari tulisan al-Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, MA Hafidzahullah dalam artikel yang beliau tulis pada Majalah Al Furqan Edisi 09 Th ke-10. Dengan judul ‘Mengenal Perniagaan Haram’ hal. 47-48.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
“Bila engkau mendapatkan orang yang menjual atau membeli di dalam masjid, maka katakanlah kepadanya, ‘laa arhamallahu tijaarotaka’ (‘semoga Alloh tidak memberikan keuntungan pada perniagaanmu’). Dan bila engkau menyaksikan orang yang mengumumkan barang yang hilang didalam masjid, maka katakanlah ‘laa rodallahu ‘alayka’ (‘semoga Alloh tidak mengembalikan barangmu yang hilang’).” (HR at-Tirmidzi hadits no. 1321, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani Rohimahullah dalam Irwa’ul Gholil: 5/134 no. 1295)

Dahulu Atho’ bin Yasar Rohimahullah bila menjumpai orang yang hendak berjualan didalam masjid, beliau menghardiknya dengan berkata, ”Hendaknya engkau pergi ke pasar dunia, sedangkan ini adalah pasar akhirat.” (Riwayat al-Imam Malik dalam kitab al-Muwaththo’: 2/244 no. 601)

Berdasarkan ini semua, banyak ulama yang mengharamkan jual beli dalam masjid. Dan perlu diketahui bahwa menurut sebagian ulama hukum ini juga berlaku pada teras masjid. Hal ini dikarenakan para ulama telah menggariskan suatu kaidah yang menyatakan:
“al-haryymu lahu hukmu maa huwa haryymun lahu”. Sekeliling suatu memiliki hukum yang sama dengan hukum yang berlaku pada sesuatu tersebut. (al-Asybah wan an-nazho’ir oleh as-Suyuthi: 240)

Kaidah diatas disandarkan oleh para ulama ahli fiqh dari sabda Nabi Shallallahu ‘alayhi wa salam:
“Sesungguhnya yang halal itu nyata, dan yang haram pun nyata. Dan diantara keduanya (halal dan haram) terdapat hal-hal yang diragukan (syubhat), banyak orang yang tidak mengetahuinya. Maka barang siapa yang menghindari syubhat, berarti ia telah menjaga keutuhan agama dan kehormatannya. Sedangkan barang siapa yang terjatuh dalam barang-barang yang syubhat, niscaya ia terjatuh kedalam hal yang haram. Perumpamaanya bagaikan seorang penggembala yang menggembalakan gembalaannya) disekitar wilayah larangan (hutan lindung), tak lama lagi gembalaanya akan memasuki wilayah itu. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki wilayah larangan. Ketahuilah bahwa larangan Alloh adalah hal-hal yang Dia haramkan.” (HR al-Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599)

Akan tetapi, bila teras tersebut berada diluar pagar masjid, atau terpisahkan dari masjid oleh jalan atau gang maka tidak berlaku padanya hukum masjid. Penjelasan ini selaras dengan fatwa Komite Tetap Fatwa Kerajaan Arab Saudi (al-Lajnah ad-Da’imah) fatwa no. 11967. (selesai tulisan al-Ustadz Badri)

Tidak diragukan lagi bahwa sepatutnya bagi kita, terutama yang mengaku ingin menjadi ekonom muslim, untuk mengetahui tentang hal diatas dan juga menjauhi jual-beli yang kita lakukan di dalam masjid. Karena para ulama telah menyatakan keharamannya, begitu juga keharaman berjual-beli pada teras masjid, berdasarkan nash-nash yang shahih.
Wallahu Ta’ala A’lam Bishshowab.