Sabtu, 07 Mei 2011

Benarkah “Cinta Tanah Air Sebagian Dari Iman”?


Pada acara kenegaraan atau dalam berbagai macam acara peringatan hari kemerdekaan biasanya hadits ini disampaikan untuk menumbuhkan semangat patriotisme dan menyuburkan rasa kebangsaan. Sehingga hadits ini begitu popular sekali dimasyarakat, dihafal bahkan dianggap sebagai suatu hadits yang diucapkan oleh nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

Namun permasalahannya adalah: benarkah ungkapan tersebut termasuk hadits yang diucapkan oleh nabi Muhmmad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam? Bagaimana dengan substansi makna kandungannya?

Teks Hadits

حب الوطن من لايمان

Hubbul watoni minal iymani (Cinta Tanah Air Termasuk Iman)

Derajat Hadits dan komentar Para Ulama

Tidak ada aslnya. Berikut ucapan para pakar hadits:
As-Shoghoni Rahimahullah berkata: “Termasuk hadits-hadits yang palsu.” [Al-Maudhu’at hlm. 2.]
As-Suyuthi Rahimahullah berkata: “Saya tidak mendapatinya.” [Ad-Durorul Muntatsiroh fil Ahadits al-Musytahiroh hlm. 110]
As-Sakhowi Rahimahullah berkata: “Saya tidak mendapatinya.” [al-Maqosidul Hasanah hlm. 100]
Al-Ghozzi Rahimahullah berkata: “Ini bukan Hadits.” [al-Jiddu al-Hatsits hlm. 32]
Az-Zarkhasyi Rahimahullah berkata: ”Saya belum mendapatinya.” [al-Ashror al-Marfu’ah, Mula al-Qori hlm. 190]
Sayyid Mu’inuddin ash-Shofwi Rahimahullah berkata: “Ini Bukan Hadits.” [al-Ashror al-Marfu’ah, Mula al-Qori hlm. 190].
Mula al Qori berkata: “Tidak ada asalnya menurut para pakar ahli hadits.” [Al-Mashnu’ hlm . 91].
Al-Albani Rahimahullah berkata: “Maudhu’ (palsu).” [Silsilah Ahadits adh-Dhoifah; 36]
Lajnah Daimah yang diketuai oleh Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah mengatakan: “Ucapan ini bukan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, ia hanyalah ucapan yang beredar dilisan manusia lalu dianggap sebagai hadits.”[Fatwa Lajnah Daimah 4/466].

Matan Hadits (kandungan hadits)


Syaikh al-Albani Rahimahullah berkata “…Dan maknanya tidak benar. Sebab cinta negeri sama halnya dengan cinta jiwa dan harta, seseorang tidak terpuji dengan sebab mencintainya lantaran itu sudah tabiat seluruh manusia. Bukankah anda melihat bahwa seluruh manusia berperan serta dalam kecintaan ini, baik kafir maupun mukmin?” [Silsilah Ahadits adh-Dhoifah; 36]
Alloh Azza wa Jalla berfirman:

“Dan sesungguhnya kalau kami perintahkan kepada mereka: “Bunuhlah dirimu atau keluarlah dari kampungmu,” niscaya ,mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka. (QS. An-Nisa’ [4]: 66)

Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang kafir juga mencintai tanah air mereka. Musuh-musuh Islam telah menjadikan hadits ini untuk menghilangkan syiar agama dalam masyarakat dan menggantinya dengan dengan syi’ar kebangsaan, padahal aqidah seorang muslim lebih berharga baginya dari segala apapun.” [Ta’liq Muhammad ash-Shobbagh atas Al-Fawaid al-Maudhu’ah oleh al-Karmi hlm. 103]

Berlebih-lebihan terhadap tanah air bisa sampai pada derajat memberhalakannya. Dan terkadang setan menggambarkannya kepada sebagian mereka bahwa tanah air lebih baik dari surga ‘Adn, sebagaimana seorang di antara mereka mengatakan:
“Anggaplah bahwa surga yang kekal adalah Yaman, Tidak ada sesuatupun yang melebihi tanah air”

Seorang lainnya mengatakan:
“Tanah airku, seandainya aku disibukkan oleh surga darinya. Niscaya jiwaku akan menggugatku di surga menuju tanah airku.” [Silsilah Ahadits Laa Ashla Lahu Salim al-Hilali hlm. 91-92]

Sebab Menyebarnya Hadits
Al-Hafidz asy-Syaukani Rahimahullah berkata sebab menyebarnya hadits palsu seperti ini: “Para ahli sejarah telah meremehkan dalam mengutarakan hadits-hadits bathil seputar keutamaan negeri, lebih-lebih negeri mereka sendiri, mereka sangat meremehkan sekali. Sampai-sampai menyebutkan hadits palsu dan tidak memperingatkannya, sebagaimana dilakukan oleh Ibnu Dabi’ dalam tarikhnya yang berjudul “Qurrotul Uyun bi Akhbaril Yaman al-Maimun” dan kitab lainnya yang berjudul “Bughyatul Mustafid bi Akhbar Madinah Zabid” padahal beliau termasuk ahli hadits.

Maka hendaknya kita waspada dari keyakinan ini atau meriwayatknnya (hadits palsu tersebut), karena kedustaan dalam masalah ini sudah menyebar dan melampaui batas. Semua itu sebabnya adalah fithrah manusia untuk cinta tanah air dan kampung halamannya.” [Al-Fawaid al-Majmu’ah hlm. 436-437]

Apakah Cinta Negeri Terlarang?

Al-Ustadz A. Hasan –Semoga Alloh Azza wa Jalla merohmatinya- berkata: “Tidak ada undang-undang manusia yang tidak terdapat dihukum-hukum agama, larangan atas seorang mencintai bangsa dan tanah airnya malah tidak dilarang, dia cinta terhadap kerbau dan sapinya, kambing dan anjingnya, kelinci dan kucingnya, ayam dan bebeknya.”

Sekali lagi, agama tidak menghalangi seseorang mencintai segala sesuatu termasuk tanah dan pasir di negerinya. Namun janganlah dibawa-bawa agama dalam urusan yang agama tidak menjadikannya urusan. Jangan membawa-bawa kalimat hubbul watani minal iyman (cinta tanah air termasuk iman) sebagai hadits (perkataan) Nabi Shallalu ‘alihi wa Sallam, padahal bukan.

Kalau orang yang cinta tanah air membawakan hadits palsu itu, maka orang yang cinta kucing akan membawakan hadits palsu lain: Hubbul hirroti minal iymani (Cinta Kucing itu sebagian dari iman). [Islam dan Kebangsaan, hadits “Cinta kucing sebagian dari iman” adalah ahdits yang juga palsu]

Bukan Sekedar Kebngsaan

Syaikh Muhammad al-Utsaimin Rahimahullah berkata: “Kita apabila perang hanya untuk membela Negara tidak ada bendanya dengan orang kafir yang juga perang untuk membela Negara mereka. Seorang yang perang hanya untuk membela negeri saja maka dia bukanlah syahid, namun kewajjiban kita sebagai muslim dan tinggal dinegeri islam adalah untuk perang karena islam yang ada dinegeri kita. Perhatikan baik-baik perbedaan ini, kita berperang karena islam yang ada dinegeri kita, adapun sekedar Karena negeri saja maka ini adalah niat bathil yang tidak berfaedah bagi seseorang.
Adapun ungkapan yang dianggap hadits “Cinta negeri Termasuk keimanan” maka ini adalah dusta.

Cinta Negara, apabila Negara tersebut adalah Negara islam maka kita mencintainya karena islamnya, tidak ada bendanya apakah Negara kelahiran kita atau Negara islam yang jauh, maka wajib kita unuk membelanya karena Negara islam. Kesimpulannya, seharusnya kita mengetahui bahwa niat yang benar tatkala perang adalah untuk membela islam di Negara kita atau membela Negara kita karena Negara Islam, bukan hanya karena sekaedar Negara saja.” [Syarah Riyadhus Sholihin 1/66-67]

Al-Ustadz A. Hassan mengatakan: “Dalam mencintai tanah air secara kebangsaan itu ada beberapa kesalahannya yang besar bagi orang yang beragama islam; Pertama; yang sebesar-besarnya, ialah menjalankan hokum-hukum yang bukan dari Alloh Azza wa Jalla dan Rosul-Nya Shallalahu ‘alaihi wa Sallam. Kedua: dengan terpaksa, karena pembawaan kebangsaan, memandang muslim dinegeri yang bukan sebangsa dan setanah air dengannya sebagai orang asing, padahal sebenarnya ia harus memandang seperti saudara. Ketiga: Memutuskan hubungan dengan negeri islam yang lain dengan alasan mereka bukan sebangsa dan setanah air, walaupun Alloh Azza wa Jalla dan Rosul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah megnatakan kita sesame muslim bersaudara dan harus bersatu. [Islam dan Kebangsaan hlm. 191]

Dari Sini kita dapat mengetahui kesalahan ucapan sebagian tokoh yang mengatakan: “Kita tidak memerangi Yahudi karena masalah aqidah!! Kita memerangi mereka karena tanah!!! Kita tidak memerangi mereka karena kafir!! Tetapi karena mereka merampas tanah kita tanpa alasan yang benar.!!" [Koran ar-Royah, Qothor, edisi 4696, Rabu 24 Sya’ban 1415 H, sebagaimana dalam Madarik Nadhor Abdul Malik al-Jazairi hlm. 248-249]

Disalin dari Majalah Al-Furqon Edisi 01 th. Ke-8 1429/2008. Ditulis oleh Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi

@wahyuibnuatman

Selasa, 03 Mei 2011

Menasihati Pemerintah Degnan Benar*


Islam adalah agama yang sempurna. Perihal hidup ummatnya, dari A sampai Z telah diatur dengan sangat detail. Begitu pula terkait dengan hubungan rakyat dengan penguasa kaum muslimin (pemerintah), Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengatur perihal tersebut. Namun banyak orang, bahkan yang mengaku Da’i Islam, salah melangkah dalm perkara ini.

Diantara prinsip Ahlu Sunnah wal Jama’ah[1] adalah tidak mengadakan provokasi atau penghasutan untuk memberontak kepada penguasa meskipun penguasa itu berbuat Zhalim. Tidak boleh melakukan provokasi baik diatas mimbar, tempat khusus atau pun umum, dan media lainnya. Karena yang demikian menyalahi petunjuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Salafush Shalih (pendahulu ummat yang shalih).

Rasulullaah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

”Barang siapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakan dengan terang-terangan. Hendaklah ia pegang tangannya (penguasa) lalu menyendiri dengannya. Jika penguasa itu mau mendengar nasihat itu, maka itu yang terbaik dan bila si penguasa itu enggan (tidak mau menerima), maka sungguh ia (yang menasihati) telah melaksanakan kewajiban amanah yang dibebankan kepadanya” [2]

Harus kita ingat, jika sudah ada dalil yang shahih, maka wajib bagi seorang muslim untuk taat kepada Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hujjah (dalil/argumentasi) itu terdapat pada hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih dan tidak boleh menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan beralasan kepada perkataan ulama atau perbuatan satu kaum atau siapa saja.

Ahlu Sunnah tidak suka dan tidak rela dengan kezhaliman dan kemunkaran yang dilakukan oleh penguasa atau lainnya. Akan tetapi cara mengingkari kemunkaran yang dilakukan oleh penguasa dan cara menasihati penguasa harus sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan atsar Salafush Shalih.

Menjelek-jelekan penguasa, membeberkan aibnya, menyebutkan kekurangannya, menampakkan kebencian kepadanya dihadapan umum atau melalui media lainnya dan mengadakan provokasi, hal itu bukan cara yang benar. Bahkan cara ini menyalahi petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdosa karena menyalahi sunnah, menimbulkan kerusakan dan bahaya yang lebih besar serta tidak ada manfaatnya. Orang yang melakukan hal demikian akan dihinakan Allah pada hari Kiamat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

”Barang siapa yang memuliakan penguasa di dunia, akan dimuliakan Allah di akhirat, dan barang siapa yang menghinakan penguasa di dunia, maka Allah akan hinakan dia pada hari kiamat [3]

Imam Ibnu ’Ashim dalam kitabnya, As-Sunnah, memberikan bab: “Apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan untuk memuliakan penguasa dan melarang keras untuk menghinakannya.” [4]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kita untuk bersabar terhadap kezhaliman penguasa. Dan dengan kesabaran itu Allah akan berikan ganjaran yang besar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

”Barang siapa yang tidak menyukai sesuatu dari pempinnya maka hendaklah ia bersabar terhadpnya. Sebab, tidaklah seorang manusia keluar dari penguasa lalu ia mati diatasnya, melainkan ia mati dalam keadaan Jahiliayah.”[5]

Ahlu Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa menaati pemimpin secara ma’ruf merupakan salah satu dasar utama Aqidah. Kewajiban tersebut selama mereka (pemimpin kaum muslimin) tidak memerintahkan untuk berbuat kemaksiatan. Karena menaati mereka (sekalipunpun mereka zhalim) termasuk ketaatan kepada Allah dan kketaatan kepada Allah ’Azza wa Jalla adalah Wajib.
Sebagaimana Firman Allah ’Azza wa Jalla:

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad) dan ulil Amri (pemegang kekuasaan) daiatara kamu...”
(QS. An-Nisaa’: 59)

Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

”Tidak (boleh) taat (terhadap pemerintah) yang didalamnya terdapat kemaksiatan kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam kebajikan.”[6]

Juga sabda Beliau:

”Wajib atas seorang Muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) pada apa-apa yang ia cintai kecuali jika ia disuruh untuk berbuat kemaksiatan. Jika ia disuruh untuk berbuat kemaksiatan, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat.” [7]

Apabila pemerintah kaum muslimin memerintahkan perbuatan maksiat, saat itulah kita dilarang untuk mentaatinya namun tetap wajib untuk taat dalam kebenaran lainnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:

”...Aku wasiatkan kepada kalian agar tetap bertaqwa kepada Allah Yang Mahamulia lagi Mahatinggi, tetaplah mendengar dan mentaati, walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak Habasyah...” [8]

Perbuatan maksiat kepada pemimpin juga berarti maksait kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:

”Barang siapa yang taat kepadaku berarti ia telah taat kepada Allah dan barang siapa yang durhaka kepadaku, berarti ia telah durhaka kepada Allah. Barang siapa yang taat kepada amirku (yang muslim) maka ia telah taat kepadaku dan barang siapa yang maksiat kepada amirku, maka ia maksiat kepadaku.”[9]

Maka al-Imam Ibnu Abil ’Izz rahumahullah (wafat 792 H) berkata: ”Hukum mentaati ulil amri adalah wajib (selama tidak dalam kemaksiatan) meskipun mereka berbuat zhalim, karena kalau keluar dari ketaatan kepada mereka akan menimbulkan kerusakan yang berlipat ganda dibanding dengan kezhaliman penguasa itu sendiri. Bahkan bersabar terahadap kezhaliman pemimpin dapat melebur dosa-dosa dan dapat melipatgandakan pahala. Karena Allah ’Azza wa Jalla tak akan menguasakan mereka atas diri kita melainkan disebabkan kerusakan amal perbuatan kita juga. Balasan itu sesuai pada amal perbuatan. Maka hendaklah kita bersungguh-sungguh memohon ampunan, bertaubat dan memperbaiki amal perbuatan.

Allah ’Azza wa Jalla berfirman:

“dan musibah apapun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syuraa: 30)

Allah ’Azza wa Jalla juga berfirman:

“Dan demikianlah kami jadikan sebagian orang-orang zhalim berteman dengan sesamannya sesuai dengan apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-An’aam: 129)

Syaikh al-Albani rahumahullah seringkali mengutip perkataan seorang Da’i : “Tegakkanlah negara islam di dalam hatimu, niscaya akan tegak islam di negaramu.”

Cara menghindari diri dari kezhaliman penguasa bukan dengan cara menurut sangkaan sebagian orang, yaitu dengan demonstrasi, memberontak, mengangkat senjata ataupun dengan cara kudeta, karena yang demikian itu termasuk hal yang baru yang diada-adakan dalam agama ini dan menyelisishi nash-nash syari’at yang memerintahkan untuk merubah diri kita lebih dahulu. Karena pasti Allah akan menolong hamba-Nya yang menolong agama-Nya.

Berdoa untuk penguasa adalah hal yang sering kita lupa. Simaklah perkataan Fudhail bin ’Iyadh rohimahullah: ’jikalau aku mempunyai do’a yang baik yang akan dikabulkan, maka semuanya akan aku tujukan kepada para pemimpin.’ Ia ditanya: ’Wahai Abu ’Ali jelaskanlah maksud ucapan tersebut?’ Beliau berkata: ’Apabila do’a itu hanya aku tujukan bagi diriku, tidak lebih hanya bermanfaat bagi diriku, namun apabila aku tujukan kepada pemimpin dan ternyata pemimpin berubah menjadi baik, maka semua orang dan negara akan merasakan manfaat kebaikannya.’[10]

Maka nasihatilah pemimpin dengan baik, tidak seperti yang telah dilarang oleh rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Do’akan mereka, dan ubah diri kita terlebih dahulu menjadi (berisalam) lebih baik. Karena Penguasa adalah representasi dari rakyatnya. Rakyat baik, penguasa akan baik Insya Allah.

Wallahu’alam bi as-Showwab

*Diringkas dari buku Syarah ’Aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah, Yazid bin Abdul Qadir Jawwas, terbitan pustaka imam Asy-Syafi’i, cetakan kedelapan 2010. Dari prinsip ke-74 dan 75 hal. 568-576.

[1] Mereka yang menempuh (beragama islam) seperti apa yang pernah ditempuh oleh Rasulullah rahumahullah dan para sahabatnya.

[2] HR Ibnu Abi ’Ashim dalam as-Sunnah (II/507-508, bab kaifa Nashiihatur Ra’iyyah lil Wulaat, no. 1096, 1097, 1098), Ahmad (III/403-404) dan Al-Hakim (III/290) dari ’Iyadh bin Ghunm radiyallahuanhu.

[3] HR. Ahmad (V/42, 48-49) dari Abi Barkah radiyallahuanhu. Hadits ini Hasan.

[4] Lihat as-Sunnah (II/475-476) oleh Ibnu Abi ‘Ashim.

[5] HR. Muslim (no. 1849 {56})

[6] HR. Al Bukhari (no. 4340, 7257), Muslim (no. 1840) dan yang lainnya. Dari sahabat ‘Ali Radhiyallahuanhu.

[7] HR. Al Bukhari (no. 2955, 7144), Muslim (no. 1839) dari Ibnu Umar Radhiyallahuanhu.

[8] HR. Ahmad (IV/126,127) Abu Dawud (no 4607), al-Hakim (I/9596) dan yang lainnya, dari sahabat ‘Irbadh bin Syariah Radhiyallahuanhu.

[9] HR Al-Bukhari (no 7137), Muslim (no. 1835 {3}) dan yang lainnya dari sahabat Abu Hurarirah Radhiyallahuanhu.

[10] Lihat Syarhus Sunnah (no. 136), oleh Imam al-Barbahary.

Senin, 02 Mei 2011

Ali bin Abi Thalib Berbicara Tentang Calon Penghuni Syurga


Pada suatu hari seorang sahabat bernama Hammam bertanya kepada Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu: “Wahai Amirul Mu’minin, Jelaskan kepadaku sifat-sifat orang yang bertakwa sehingga seakan-akan aku melihat mereka.” Ali menjawab, “Mereka adalah orang yang jujur dalam berkata, berpakaian dengan sederhana, dan berjalan dengan gaya tidak sombong. Mereka memelihara pandangan matanya dari hal-hal yang diharamkan Alloh, dan telinga mereka selalu terpasang untuk mendengar ilmu yang bermanfaat.

Jiwa mereka tetap tenang, baik ketika menerima anugrah maupun saat sedang menghadapi cobaan. Seandainya tidak ada ajal yang telah ditentukan oleh Alloh bagi mereka, jiwa mereka tidak akan mau menyatu dengan raga mereka barang sekejap supaya selalu bisa dekat dengan Alloh untuk melampiaskan rindu dendam. Di mata mereka yang besar hanyalah Alloh, sedangkan selain-Nya semua terlalu kecil. Hati mereka kaya raya, orang lain dijamin aman dari kejahatan mereka, tubuh mereka kurus, tuntutan kebutuhan mereka sangat sederhana, dan jiwa mereka suci bersih.

Mereka rela menderita untuk sementara waktu demi kebahagiaan yang panjang dan abadi. Mereka sibuk dalam suatu perniagaan menguntungkan yang dikendalikan dan dijamin oleh Alloh. Dunia menginginkan mereka, tetapi mereka tidak begitu-menginginkannya.

Diwaktu malam mereka tekun dan khusuk membaca Al-Qur’an. Ketika membaca ayat tentang rahmat Alloh, jiwa mereka bergolak penuh semangat, harapan dan kerinduan. Tetapi ketika membaca ayat tentang siksa Alloh, hati mereka tunduk dan gentar. Mereka merasa seolah-olah jeritan tangis pilu para penghuninya begitu dekat di telinga, lalu mereka memohon agar Alloh membebaskan mereka daripadanya.

Sedang pada siang hari mereka tampil sebagai sosok yang santun, yang berbakti dan bertakwa. Rasa takut siksa Alloh membuat mereka nampak bigutu murung, sehingga orang lain melihat mereka sedang sakit. Padahal sejatinya mereka sedang prihatin lantaran masih terlalui sedikit amal-amal shaleh yang baru mereka kerjakan, sementara dosa-dosa yang telah mereka langgar sudah terlalu banyak.

Mereka merasa curiga terhadap diri sendiri dan merasa kasihan terhadap amal-amal yang masih sangat minim. Karena itu mereka takut dan risih sekali ketika orang lain memuji mereka. Dengan jujur mereka berkata pada Alloh, “Ya Alloh, kami lebih tahu diri kami daripada orang lain. Dan Engkau lebih tahu diri kami daripada diri kami sendiri. Ya Alloh, jangan hukum kami disebabkan pujian mereka itu. Ampunilah kami atas sesuatu yang mereka tidak ketahui itu.”

Sifat lain yang menjadi ciri orang-orang yang bertakwah ialah, komitmen agamanya yang kuat, gigih dalam kelembutan, iman dalam keyakinan, bersemangat dalam keilmuan, beramal dalam kesatuan, bersahaja dalam kekayaan, kusyu’ dalam beribadah, tampil prima dan percaya diri dalam kemiskinan, sabar dalam kesulitan, mencari yang halal-halal, konsisten dalam kebenaran, dan menghindar dari keserakahan.
Mereka tekun melakukan amal-amal shaleh dengan hati yang waspada. Pagi hari mereka bertekat untuk selalu mengingat Alloh dalam melakukan semua aktivitas, dan sore harinya mereka mensyukurinya. Menjelang tidur mereka takut lalai dari mengingat Alloh, dan bangun tidur mereka gembira karena ternyata Alloh masih memberikan mereka anugerah serta rahmat.

Apabila tengah menghadapi kesulitan, mereka hanya mengandalkan Alloh. Idolanya adalah hal-hal yang tidak fana. Mereka tidak menyukai sesuatu yang tidak abadi. Mereka padukan kesantunan dengan ilmu, dan ucapan dengan perbuatan. Harapan mereka tidak muluk-muluk, sehingga mereka jarang melakukan kesalahan-kesalahan.

Hati mereka khusyu’ dan jiwa mereka tidak serakah, sehingga semua urusan mereka anggap gampang. Mereka sanggup mengendalikan nafsu dan menahan amarah. Orang lain akan mendapatkan kebajikan-kebajikan dari mereka, bukan kejahatan-kejahatan. Mereka memaafkan orang yang justeru berbuat zhalim kepada mereka. Mereka berlaku dermawan kepada siapa saja yang justeru kikir kepadanya. Dan mereka mau menyambung hubungan kekeluargaan arau persaudaraan dengan orang yang justeru mencoba memutuskannya.

Mereka tidak mau menjawab kejahatan dengan kejahatan, melainkan sebailknya. Kata-kata mereka sangat lembut. Bagi mereka seribu kawan terlalu sedikit, dan satu lawan terlalu banyak. Mereka sabar dalam menghadapi cobaan, dan bersyukur saat menerima nikmat. Mereka tetap berlaku santun sekalipun pada orang yang membencinya. Mereka tidak mau mengecewakan orang yang mencintainya.

Mereka mengakui kebenaran sebelum diminta untuk mempersaksikannya. Mereka tidak mau menyia-nyiakan amanat yang dipercayakan kepadanya. Mereka tidak suka saling mencela dan memberi gelar yang jelek. Mereka tidak mau menyakiti tetangga. Jika ada yang berbuat aniaya mereka tetap sabar, dan menyerahkan segalanya hanya kepada Alloh.

Bergaul dengan mereka orang akan merasa aman dan untung. Semua aktivitas mereka selalu memperhitungkan kepentingan-kepentingan akhirat. Mereka tidak mau menyakiti dan mengecewakan siapapun, termasuk kepada orang-orang yang tidak suka kepada diri mereka.

Dijelaskan oleh syaikh Thaha Abdullah Afifi falam kitabnya Mi’ah wa Isyrun Miftahan min Mahtihil Jannah, belau berkata bahwa riwayat diatas adalah salah satu yang paling lengkap dan paling bagus tentang sifat-sifat orang yang bertakwa…

[Disalin dari kitab Indahnya Syurga Dahsyatnya Neraka, disusun oleh Kelompok telaah Kitab Ar-Risalah, Cetakan I Oktober 2008, penerbit Granada Media Utama, Hlm 100-102]

Bijak Menyikapi Ahmadiyah

Oleh: Wahyu Ibnu Atman

Permasalahan Ahmadiyah masih terus terjadi di banyak belahan dunia, begitupun di Indonesia. Akhir-akhir ini permasalahan Ahmadiyah kembali mencuat. Penghakiman secara brutal atas jamaah Ahmadiyah oleh oknum-oknum yang tidak jelas asalnya terjadi sudah. Masyarakat Indonesia yang dikenal santun kini menjadi ‘ganas’ layaknya hewan yang perutnya belum terisi dengan makanan, buas. Masyarakat seakan sudah tidak sabar dan tidak lagi menaruh kepercayaan kepada penguasa yang seharusnya dapat mengatasi hal tersebut. Terlebih, kasus Ahmadiyah bukanlah kasus yang baru, namun sudah sejak lama exist mencuri perhatian para pemerhati berita.

Sebagai umat Islam, tentu kita harus mengembalikan segalanya pada Al-Qur’an dan Assunnah yang shahih, terkait masalah-masalah yang diperdebatkan, termasuk diantaranya masalah Ahmadiyah. Mengembalikan segala sesuatunya pada Al-Qur’an dan Assunnah adalah cara yang benar dan paling bijak, karena seperti itulah seharusnya seorang mukmin bersikap.

Seperti yang telah kita ketahui bersama, Ahmadiyah adalah agama yang dibawa oleh Mirza Ghulam Ahmad Al-Qadiyani. Ahmadiyah muncul pada 1900M. telah banyak buku dan tulisan-tulisan para ulama yang membahas tentang Ahmadiyah. Banyak dari tulisan tersebut yang menyebutkan kesesatan dari jamaah Ahmadiyah. Salah satu yang merupakan ajaran Ahmadiyah adalah menjadikan pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad, sebagai Nabi.

Setelah cukup dikenal oleh masyarakat muslim di India karena keberaniannya membantah agama kristen dan Hindu, pada tahun 1885M, Mirza Ghulam Ahmad memproklamirkan diri sebagai mujaddid (pemberharu agama) dengan mendapat bantuan dan dukungan penuh dari penjajah Inggris yang saat itu menguasai India. Pada tahun 1891M, ia mengklaim bahwa dirinya adalah Imam Mahdi. Kemudian pada tahun itu juga, ia mengaku sebagai Al-Masih. Dan klimaksnya pada tahun 1901M, Mirza Ghulam Ahmad mendeklarasikan diri sebagai Nabi baru, yang menurutnya lebih mulia dari para Nabi dan Rasul sebelumnya.

Hal diatas adalah satu dari sekian banyak ajaran Ahmadiyah yang bertentangan dengan ajaran Agama Islam yang selama ini kita pelajari. Kita tahu, Ahlu Sunnah wal Jama’ah menyaksikan dan meyakini bahwa Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam adalah penutup para Nabi ’alaihimus salaam. Begitu banyak dalil dari Al-Qur’an dan Assunnah yang shahih yang menunjukkan pada hal tersebut. Diantaranya adalah Firman Allah Azza wa Jalla:
”Muhammad itu bukanlah bapak dari seorang di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzab: 40)

Rasulullah-pun telah bersabda:
”Aku memiliki lima nama, aku Muhammad (yang terpuji), aku adalah ahmad (yang banyak memuji), aku adalah al-Maahi (penghapus) dimana melalui perantaraku Allah menghapus kekufuran. Aku adalah al-Haasyir (pengumpul) yang mana manusia akan dikumpulkan di hadapanku. Aku juga mempunyai nama al-’Aqib (belakangan/penutup)-tidak ada lagi Nabi yang datang sesudahku.”(Shahih. HR. Bukhari no. 3532, Muslim no. 2354, Tirmidzi no. 2840, dari Shahabat Zubair bin Muth’im Radhiyallahu ‘anhu).

Dua dalil diatas saya kira cukup untuk menunjukkan bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah nabi penutup, yang tidak ada lagi nabi setelahnya. Bila ada yang orang yang mendakwahkan adanya kenabian sesudah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia telah sesat dan kufur. (Yazid bin Abdul Qadir Jawwas, Konsekuensi Cinta kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam: 2010).

Mirza Ghulam Ahmad adalah pendusta besar, Dajjal yang telah disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salla, dalam sabdanya:
“…Dan sesungguhnya akan muncul pada umatku pendusta yang jumlahnya tiga puluh orang, mereka semua mengaku sebagai Nabi, sedangkan aku adalah penutup para Nabi dan tidak ada Nabi sepeninggalku.”
(Shahih. HR Ahmad V/278, Abu Dawud no 4252, Ibnu Majah no. 3952 dari sahabat Tsauban Radhiyallahu ‘anhu)
Jelaslah bahwa ajaran yang dibawa oleh seorang pendusta adalah dusta, maka hendaknya kita berhati-hati dengan tipu daya mereka.

Disisi lain juga diketahui bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah orang yang berguru pada pecandu opium dan ganja. Dia (Mirza Ghulam Ahmad) berkata : “Aku belajar Al-Qur’an dan kitab-kitab berbahasa Persia dengan ustadz Fadhl Ilahi. Sedangkan sharaf dan nahwu serta ilmu pengobatan, aku pelajari dari ustadz Fadhl Ahmad”. Sesuai dengan keterangan Mahmud Ahmad, salah seorang anaknya di Koran Al-Fadhl (5 Februari 1929), milik kelompok mereka, sebagian guru yang mengajar Ghulam Ahmad adalah pecandu opium dan ganja. (Al-Qadiayaniah Dirasat Wa Tahlil, karya Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir, Idaratu Turjumani As-Sunnah, Lahore, Pakistan, tanpa tahun) Tulisan diatas dibawakan oleh Ustadz Muhammad Ashim dalam artikelnya yang berjudul Siapakah Mirza Ghulam Ahmad?

Saya kira cukuplah pembuktian bahwa Mirza Ghulam Ahmad, sang pendiri Ahmadiyah, adalah seorang pendusta yang mengaku sebagi Nabi, dan itu membuktikan bahwa Ahmadiyah adalah bukan bagian dari Islam. Karena kedustaannya yang mengaku sebagai Nabi adalah kedustaan yang paling besar. Belum lagi bila kita membicarakan masalah kitab suci yang digunakan oleh Ahmadiyah adalah bukan Al-qur’an melainkan At-tadzkiroh, semakin menambah bukti keluarnya mereka dari agama yang Haq ini (baca: Islam).

Sebagai kaum Muslimin, kita wajib untuk mengingkari dan berlepas diri dari kesesatan dan kekufuran Ahmadiyah. Namun bukan berarti kita mengambil tindakan sendiri dengan menyerang mereka secara brutal. Karena sentuhan kekuatan fisik kepada mereka hanya boleh dilakukan oleh pemerintah negeri kaum muslimin ini. Penyerangan terhadap mereka (jama’ah Ahmadiyah) hanya akan menimbulkan kerusakan-kerusakan lainnya. Mendorong pemerintah untuk lebih bijak dan cepat adalah hal terbijak yang bisa dilakukan oleh kaum muslimin. Bukan dengan berdemo, koar-koar di depan gedung DPR atau ditengah jalan raya umum, namun dengan dialog dan mengirim surat yang kita tujukan kepada pemerintah kita.

Rasulullah bersabda:
”Barang siapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkan dengan terang-terangan. Hendaklah ia pegang tangannya lalu menyendiri dengannya. Jika penguasa itu mau mendengar nasihat itu, maka itu yang terbaik dan bila si penguasa itu enggan (tidak mau menerima), maka sungguh ia telah melaksanakan kewajiban amanah yang dibebankan kepadanya.” (HR Ibnu Abi ’Ashim dalam as-sunnah II/507-508, Ahmad III/ 403-404), dan al-Hakim III/290 dari ’Iyadh bin Ghunm Rhadiyallahu ’anhu)

Prinsip Ahlu Sunnah wal Jama’ah adalah tidak mengadakan provokasi atau penghasutan untuk memberontak kepada penguasa sekalipun penguasa itu berbuat zhalim. (Yazid bin Abdul Qadir Jawwas, Syarah Aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah: 2004)


Melanggar peraturan adalah dilarang dalam islam, selama peraturan tersebut tidak mengajak kita bermaksiat pada Allah Azza wa Jalla. Menyikapi masalah dengan mengembalikannya pada Alqur’an dan As-sunnah adalah keniscayaan penyelesaian dari masalah tersebut. Agama islam adalah agama dalil, bukan agama ra’yuu (akal). Apa yang baik menurut kita belum tentu baik menurut Allah ’Azza wa Jalla, begitu pula sebaliknya. Melakukan kekerasan kepada mereka tidaklah menyelesaikan masalah selama tidak dipimpin (dilakukan) oleh pemerintah.

Kita juga harus berhati-hati karena action yang kita tujukan kepada penguasa. Tidak boleh kita membeberkan kejelekan penguasa, menyebut aib dan kekurangannya, menyapaikan kebencian dalam mimbar maupun tulisan karena Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam sendiri yang telah mengingatkan kita:

”Barang siapa yang memuliakan penguasa didunia, akan dimuliakan Allah di akhirat, dan barang siapa yang menghnakan penmguasa di dunia, maka Allah akan hinakan dia pada hari kiamat.” (Hasan. HR Ahmad V/42 dari Abi Bakrah radhiyallahu anhu)

Agama islam ini telah sempurna. Semua telah diatur (dalam hal aqidah dan ibadah) dengan tidak ada penambahan-penambahan lagi atasnya. Barang siapa melakukan penambahan dalam agama ini, maka ia telah menganggap rasul shallallahu ’alaihi wa sallam telah berkhianat menyembunyikan risalah kenabian yang Allah ’Azza wa Jalla berikan (Syaikh Al-Walid bin Muhammad Nabih bin Saif An-Nashr dalam buku syarah Ushul As-sunnah Imam Ahmad bin Hambal, ini merupakan perkataan al-Imam Malik).

Telah tegak bahwa Ahmadiyah adalah sesat dan menyesatkan, mereka berdiri diatas kesesatan dan kesalahan, namun kita tidak boleh melakukan tindakan yang salah dengan mengatasnamakan pengingkaran terhadap Ahmadiyah. Kemaksiatan tidak boleh dibalas dengan kemaksiatan, semua telah Allah ’azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wa Sallam ajarkan dalam Islam. Sebagai muslim yang taat, maka dengar dan taat apa yang telah tertulis di Alqur’an dan as-Sunnah yang shahih dengan pemahaman para shahabat.

Wallahu’alam bi as-shawwab

Sumber-sumber:

Jawas, Yazid bin Abdul Qadir. 2010. Syarah Aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i.

Jawas, Yazid bin Abdul Qadir. 2010. Konsekuensi Cinta Kepada Nabi Muhamad. Jakarta: Pustaka At-Taqwa.

An-Nashr, Al Walid bin Muhammad Nabih bin Saif. 2009. Syarah Ushul As-Sunnah Imam Ahmad bin Hambal. Jakarta: Darus Sunnah

Ashim , Muhammad. SIAPAKAH MIRZA GHULAM AHMAD. www.almanhaj.or.id (25 Februari 2010)

AHMADIYAH KELOMPOK PENGEKOR NABI PALSU Disalin dari Majalah Fatawa Vol. 06. Th. II 1425H/2004M. Disusun dan dialihbahasakan Abu Asiah, Alamat Redaksi Islamic Center Bin Baz, Karanggayam, Sitimulyo, Piyungan, Bantul – Yogyakarta] www.almanhaj.or.id (25 Februari 2010)