Senin, 02 Juli 2012

Pemuda, Antara Harapan dan Keterpurukan

Oleh: Wahyu Jatmiko (Manajemen, FEUI)

Telah lekat ditelinga kita untaian kalimat bahwa masa depan bangsa bergantung pada pemudanya, bila pemudanya baik maka baiklah bangsa tersebut, bila buruk maka buruklah bangsa tersebut. Agaknya tidak pernah terdengar ditelinga kita perdebatan mengenai kebenaran perkataan tersebut. Ya, pemuda adalah senjata utama suatu bangsa untuk menyambut masa depannya. Karena itulah Roosevelt mengatakan “We cannot always build the future for our youth, but we can build our youth for the future”.

Begitu banyak definisi yang menjelaskan makna dari pemuda, dari mulai yang menyamakannya dengan definisi remaja, yakni orang yang berada dalam umur peralihan dari anak-anak menuju dewasa (12-21 tahun) atau adapula yang menyatakan bahwa pemuda tidaklah dibatasi oleh umur, berapapun umurnya asalkan memilliki ciri-ciri pemuda, tetaplah disebut pemuda. Dalam permbahasan kali ini penulis ingin mendefinisikan pemuda sebagaimana definisi yang tertera pada UU Kepemudaan Nomor 40 Tahun 2009 yang membatasi umur pemuda dari 16 hingga 30 tahun. Hal ini penulis anggap lebih relevan dengan tema yang akan diangkat.

Bila pemuda adalah penentu masa depan bangsa, maka berhati-hatilah bagi bangsa yang pemudanya berada dalam keterpurukan. Ketika pemuda suatu negara berada dalam disorientasi akan jati dirinya sebagai sosok yang diharapkan mampu membawa “kapal” negaranya sukses menelusuri samudera yang begitu luas, maka telah seharusnya alarm peringatan akan kehancuran masa depan bangsa dinyalakan oleh negara tersebut. Sebaliknya, bila suatu bangsa telah dapat menyiapkan pemuda-pemuda yang memiliki orientasi kuat akan peran sentralnya dalam pembanguan masa depan bangsa, maka berbahagialah bangsa tersebut karena telah menyiapkan masa depan yang baik. Ironinya kenyataan telah berbisik kepada kita, bahwa kondisi pemuda negara Indonesia tercinta ini lebih dekat dengan kondisi yang pertama. Keterpurukan dan disorientasi akan peran dalam kehidupan.

Bagaimana tidak? Data telah berbicara dan realita telah bersaksi bahwa 62,7 persen remaja di Indonesia pernah melakukan hubungan layaknya suami istri (data Komnas Pendidikan Anak), BKKBN menyatakan bahwa 51 persen remaja telah merasakan kenikmatan semu seks bebas. Selesai sampai disitu? Tidak, melalui Prof dr Wimpie Pangkahila (guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana) kenyataan menyampaikan bahwa diperkirakan jumlah kasus aborsi atau pengguguran kandungan di Indonesia mencapai 2,5 juta kasus per-tahun. Penggunaan narkoba juga begitu subur di negara kepulauan ini, tidak kurang dari 5 juta penduduk Indonesia diperkirakan menjadi pengguna barang haram tersebut (kompas, 29 April 2012).

Seks bebas dan narkoba telah membawa petaka bagi bangsa ini, data kementerian kesehatan menyebutkan bahwa diperkirakan 200.000 penduduk indonesia menderita penyakit mematikan HIV/AIDS (tempo.co, 25 November 2011). 76,3 persen disebabkan oleh seks bebas dan 16,3 persen oleh jarum suntik (data Komisi Nasional Penanggulangan AIDS). Konsumsi minuman keraspun tinggi, belum lagi kekerasan yang timbul dalam bentuk tawuran baik dikalangan pelajar SMA maupun mahasiswa. Ironi, satu kata yang tepat menggambarkan betapa para pelajar bangsa yang dididik untuk dapat lebih ilmiah dalam berfikir, mengandalakan otak ketimbang otot, justeru menjadi pasukan perang yang “nyasar” di jalan-jalan kota, saling berkelahi sesama anak bangsa, melempari aparat keamanan dengan batu dan bom molotov, bahkan merusak sarana umum, pertokoan dan restoran.

Data telah berbicara, kenyataan tidak mungkin dipungkiri. Pemuda indonesia kini berada ditengah badai krisis jati diri dan disorientasi akan perannya dalam pembangunan bangsa. Dengan kondisi seperti itu bagaimanakah masa depan bangsa ini? Kemanakah kapal besar bernama “bangsa Indonesia” akan berlayar? Memahami permasalahan adalah setengah dari solusi. Kita harus memahami bahwa ada dua faktor utama yang menyebabkan pemuda rentan mengalami disoreintasi peran.

Faktor yang pertama adalah faktor internal. Faktor internal disorentasi pemuda adalah karakteristik pemuda itu sendiri. Sebagaimana yang disebutkan oleh bapak psikologi remaja Stanley Hall, bahwa masa muda adalah masa badai dan tekanan (storm and stress). Ya, masa muda adalah masa dimana seseorang sangat sensitif akan kondisi dan situasi. Perubahan-perubahan terjadi secara cepat termasuk dalam hal yang fundamental layaknya pemikiran, emosi, sosial dan lain-lain. Selain itu, masa muda juga merupakan masa pencarian akan jati diri dan krisis identitas, sebagaimana yang diungkapkan oleh seorang psikolog berkebangsaan Jerman Erik Erikson.

Masa muda adalah masa dimana kebutuhan akan cinta cukup tinggi. Baik cinta yang bersifat kasih sayang (Affectionate Love) dari keluarga maupun cinta dengan lawan jenis (Romantic Love). Sering kalai kita mendengar bahwa kenakalan pemuda disebabkan oleh rasa putus cintanya kepada kekasihnya, sehingga pelarian yang dilakukan adalah mengkonsumsi narkoba atau minuman keras. Telinga kita juga telah akrab dengan kenakalan pemuda yang disebabkan karena tidak adanya rasa kasih sayang dari orang tua dirumah. Kedua orang tuanya berkerja, sebelum ia bangun telah berangkat ke kantor dan baru pulang ketika ia telah tidur.

Yang kedua adalah faktor eksternal. Dari banyak faktor eksternal yang ada agaknya globalisasi menjadi sumber utama penyebab disorientasi pemuda. Globalisasi menyebabkan arus informasi yang begitu cepat dan mudah untuk diakses. Kita dapat mengetahui informasi dari belahan dunia manapun dalam waktu sekejap saja. Media sosial begitu terbuka dan memberikan lautan informasi yang tidak menentu darimana asalnya. Penyebaran nilai dan budaya pun dengan mudahnya berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya melalui teknologi media ini. Pemuda dengan karakteristik sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya memiliki ketertarikan dan kemampuan untuk masuk kedalam arus informasi dan sosial media ini.

Tentunya globalisasi bukanlah seluruhnya negatif. Globalisasi seperti mata uang yang memiliki dua sisi. Satu sisi positif dan lainnya adalah negatif. Pemanfaatan globalisasi dengan baik akan mendatangkan kemajuan dan kebaikan, mengambil sisi buruknya tentu akan mendatangkan keburukan. Layaknya pisau yang dapat digunakan untuk membunuh oleh penjahat namun juga dapat digunakan oleh seorang ibu memasak untuk keluarganya. Membunuh adalah keburukan, sedangkan memasak untuk keluarga adalah kebaikan. Begitu pula globalisasi. Arus informasi yang tersedia dapat menjadi sebuah kebaikan bila kita menjadikannya sebagai sarana untuk memeroleh pengetahuan baru, mengambil nilai dan budaya yang baik dari negara-negara barat, seperti kejujuran, ketepatan waktu, profesionalisme dan lain-lain. Namun dapat juga menjadi keburukan bila yang kita ambil adalah budaya-budaya buruk seperti seks bebas yang selalu dipropagandakan dalam sebagian besar filem-filem barat, pornografi, narkoba, mengkonsumsi minuman keras, cara berpakaian yang tidak baik dan lain sebagainya. Namun yang sangat disayangkan, ketimbang mengambil yang baik, pemuda lebih sering mengakulturasi (bahkan mengambil mentah-mentah) hal-hal yang buruk sebagaimana yang telah disebutkan diatas.

Tentu sangat akrab ditelinga kita kata-kata besar seorang presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno, “Berikan aku sepuluh pemuda maka akan kuguncang dunia.” Sungguh kalimat yang penuh dengan optimisme dan harapan akan kekuatan pemuda Indonesia. Namun sahabatku sesama pemuda, mari kita pikirkan siapa pemuda yang diseru oleh sang presiden diatas? Apakah pemuda yang diseru adalah pemuda yang mengkonsumsi narkoba, melakukan seks bebas, menenggak minuman keras, melakukan aborsi atau melakukan tawuran pelajar? Atau yang diseru adalah pemuda yang memiliki semangat juang tinggi, dapat mengkonversi globalisasi menjadi keunggulan kompetitifnya, melakukan perubahan untuk diri sendiri, keluarga dan negeri, berusaha menjadi ahli dibidangnya masing-masing, tidak hanya ber-“aksi” turun ke jalan namun juga berkontribusi dan mengabdi kepada negeri? Tentu, saya berani bertaruh kalau belau masih hidup dan pertanyaan ini diberikan kepada beliau, seribu persen beliau akan menjawab pemuda yang kedualah yang dimaksud.

Pemuda adalah harapan bangsa. Peran pemuda sangat sentral untuk mendatangkan masa depan yang baik kepada negeri ini. Masa-masa muda adalah masa yang sangat potensial untuk melakukan perubahan-perubahan positif. Tidak perlu besar, kecil namun berkelanjutan adalah lebih baik. Begitu banyak kontribusi yang dapat kita sumbangkan, tidak perlu selogan mengubah dunia, ubahlah diri kita sendiri terlebih dahulu menjadi pribadi yang lebih baik. Karena sejatinya kita adalah bagian dari dunia, mengubah diri kita berarti telah mengubah bagian kecil dari dunia. Akhirnya keputusan ada ditangan kita, ingin menjadi pemuda yang diharapkan atau yang terus berkawan dengan keterpurukan.

Wahyu Jatmiko|@wahyuibnuatman