Selasa, 08 Januari 2013

Sukuk: Sebuah Alternatif Pembiayaan Infrastruktur Indonesia

Oleh: Wahyu Jatmiko | @wahyuibnuatman



Dewasa ini produk-produk syariah telah menjadi alternatif yang sangat powerfull bagi sistem keuangan di dunia, termasuk diantaranya di indonesia. Produk-produknya telah menjadi pilihan bagi para pemegang kepentingan untuk dipertimbangkan. Hal ini terjadi baik di lembaga keuangan bank maupun non bank. Pasar modal pun tak luput dari jamahan produk-produk yang berafiliasi dengan syariah tersebut, yang dalam pengambilan hukumnya mengacu pada sumber hukum utama umat islam yaitu Al-Qur’an, Hadits, Qiyas, dan Ijma’ para ulama (ahli ilmu).

Produk syariah di pasar modal antara lain berupa surat berharga atau efek syariah. Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivatif dari efek (UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal). Maka Efek syariah adalah Efek yang pelaksanaan akad, cara dan kegiatan usaha yang menjadi landasan pelaksanaannya tidak bertengangan dengan prinsip-prinsip syariah di Pasar Modal (Peraturan Bapepam LK No IX A, 13). Beberapa contoh efek syariah yang telah diterbitkan di pasar modal indonesia adalah Saham Syariah, Sukuk, dan Reksa Dana Syariah. Pada kesempatan kali ini fokus utama pembahasan kami adalah Sukuk.



Pengertian Sukuk

Banyak yang mengatakan bahwa sukuk adalah islamic bond. Berasal dari kata “sakk” jamak dari bukti kepemilikan. Adapun Bapepam LK mendefinisikan sukuk sebagai Efek Syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian yang tidak tertentu (tidak terpisahkan) atau tidak terbagi atas:

1. Aset berwujud tertentu;

2. Nilai manfaat atas aset berwujud tertentu baik yang sudah ada maupun yang akan ada;

3. Jasa yang sudah ada maupun yang akan ada;

4. Aset proyek tertentu; dan atau

5. Kegiatan investasi yang telah ditentukan. (Peraturan Bapepam dan LK No. IX A. 13)

Pada dasarnya di pasar modal dunia saat ini berkembang banyak jenis dari Sukuk yang diperdagangkan, namun yang dominan di Indonesia hanyalah 2 jenis Sukuk, Sukuk Mudharabah dan Sukuk Ijarah. Hal ini terlihat dari statistik Sukuk korporasi yang dikeluarkan oleh Bapepam LK (november 2012) yang mengindikasikan bahwa dari total 53 emisi sukuk di Indonesia 39 (73,58%) diantaranya adalah Sukuk Ijarah dan sisanya 14 (26,42%) adalah sukuk Mudharabah.

Menurut The Accounting and Auditing Organisation for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) Sukuk Ijarah adalah sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad Ijarah di mana satu pihak bertindak sendiri atau melalui wakilnya menjual atau menyewakan hak manfaat atas suatu aset kepada pihak lain berdasarkan harga dan periode yang disepakati, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan aset itu sendiri. Sukuk Ijarah dibedakan menjadi Ijarah Al Muntahiya Bittamliek (Sale and Lease Back) dan Ijarah Headlease and Sublease.

Sedangkan Sukuk Mudharabah diartikan sebagai sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad Mudharabah di mana satu pihak menyediakan modal (rab al-maal) dan pihak lain menyediakan tenaga dan keahlian (mudharib), keuntungan dari kerjasama tersebut akan dibagi berdasarkan perbandingan yang telah disetujui sebelumnya. Kerugian yang timbul akan ditanggung sepenuhnya oleh pihak yang menjadi penyedia modal (Mengenal Sukuk, Direktorat Kebijakan Pembiayaan Syariah, Departemen Keuangan).

Perkembangan sukuk di Indonesia

Baik korporasi maupun pemerintah indonesia telah menerbitkan sukuk. Sukuk awalnya diinisaiasi oleh pihak swasta jauh sebelum landasan hukum yang mengatur Sukuk Syariah disahkan. Sukuk korporasi pertama yang diterbitkan di Indonesia adalah Obligasi Syariah Mudharobah Indosat tahun 2002 yang diterbitkan oleh Indosat (Oktober 2002 – November 07) dengan nilai nominal Rp. 175.000.000.000. Kemudian setelahnya menyusul beberapa sukuk lainnya seperti OS Berlian Laju Tanker Syariah Mudharabah pada tahun 2003, OS Mudharabah bank Bukopin tahun 2003 dan lain-lain. Hingga kini (November 2012) total emisi sukuk korporasi Indonesia adalah 53 dan 32 diantaranya masih outstanding (Statistik Sukuk, November 2012).

Sukuk di Indonesia memiliki time horizon yang bervariasi, dari mulai yang paling kecil 2 tahun yakni Sukuk Ijarah I Bakrieland Development Tahun 2009 Seri A sebesar Rp. 60.000.000.000 (Juni 2009 – Juli 2011). Hingga yang paling lama adalah 12 tahun yakni Sukuk Ijarah PLN V Tahun 2010 Seri B dengan nilai nominal Rp. 340.000.000.000 (Juni 2010 – Juli 2022). Nilai sukuk terendah yang pernah di keluarkan oleh korporasi di Indonesia adalah Rp. 28.000.000.000 yakni Sukuk Ijarah Indosat IV tahun 2009 seri A (November 2009 – Desember 2014), sedangkan yang jumlah nominalnya paling tinggi adalah Sukuk Subordinasi Mudharabah berkelanjutan I tahap I Bank Muamalat tahun 2012 (Juni 12 – Juni 22) sebesar Rp. 800.000.000.000. Total nilai sukuk korporasi telah mencapai Rp. 9.590,4 miliar dan yang masih outstanding Rp. 6.779, 0 miliar. Lebih lengkap data tersebut dapat dilihat dalam data statistik sukuk pada Grafik yang dikeluarkan oleh Bapepam LK per November 2012 dibawah ini;

Grafik I: Perkembangan Penerbitan Sukuk



(sumber: diolah dari Statistik Sukuk November 2012, Bapepam LK)

Selain korporasi, pemerintah sendiri telah melakukan beberapa pembiayaan dengan menggunakan instrumen sukuk yang dinamakan SBSN (Sertifikat Berharga Syariah Negara). Jumlah SBSN yang dikeluarkan oleh pemerinta semakin meningkat dari tahun 2009 hingga bulan Oktober 2012 sebagaimana yang tergambar pada grafik II. BI merilis SBSN yang masih outstanding pada Oktober 2012 sebesar Rp 98.810 miliar (statistik sistem pembayaran BI). Adapun Penjualan Sukuk Negara Ritel mendapatkan respon yang sangat luar biasa dari masyarakat dengan nominal jumlah penjualan Rp34.531.560.000.000 sebagaimana yang dapat dilihat pada grafik III.

Grafik II: Outstanding SBSN



(sumber: diolah dari data statistik sistem pembayaran BI [bi.go.id accesed 10 dec 2012])

Grafik III: Hasil Penjualan Sukuk Negara Ritel



(Sumber: Diolah dari data kementerian keuangan (www.dmo.or.id , [accessed 10 dec 2012])

Potensi besar sukuk nasional.

Ada beberapa alasan mengapa sukuk menjadi instrumen pembiayaan yang sangat potensial bagi Indonesia, diantaranya adalah:

(1) Indonesia memiliki penduduk muslim terbesar dunia. Sebagaimana yang telah dimaklumi bahwa Indonesia menyimpan penduduk muslim terbesar di dunia. 207.176.162 (87,18 persen) dari penduduk indonesia adalah muslim (publikasi sensus penduduk 2010, bps). Potensi ini jauh lebih besar dari negara-negara lain yang menguasai pangsa pasar sukuk dunia saat ini. Malaysia misalnya saat ini menguasai 71 persen market share sukuk dan 68 persen sukuk outstanding global [1]. Padahal penduduk muslim mereka jauh berada dibawah penduduk Indonesia yakni 60,4 persen dari 29.179.952 penduduk pada juli 2011 atau sekitar 18 juta penduduk [2]. Hanya 8,5 persen penduduk Indonesia. Dengan jumlah penduduk muslim yang besar, tentu ini menjadi potensi tersendiri bagi Indonesia karena itu berati market size indonesia khususnya untuk sukuk ritel, misalnya, sangat besar sekali.

(2) Proyek infrastruktur di Indonesia begitu banyak. Pemerintah Indonesia sedang mencanangkan pembangunan infrastruktur secara menyeluruh di Indonesia demi terwujudnya indonesia sebagai negara maju ditahun 2030 (versi KEN) atau 2045 (versi SBY). Hal ini dapat terlihat jelas dari Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).

(3) Permintaan terhadap sukuk pun tinggi. Hal ini dapat dilihat dari trend penjualan sukuk yang terus meningkat baik SBSN, Sukuk Negara Ritel, maupun Sukuk Korporasi (lihat grafik I, II, dan III). Penjualan Sukuk Negara Ritel pun selalu melampaui target yang dicanangkan dari pemerintah (Laporan Hasil Penjualan Sukuk Negara Ritel [SR-001 samapai SR-004], Kementerian Keuangan).

(4) Perekonomian indonesia cenderung stabil dibandingkan dengan perekonomian global. Ditengah terpaan krisis global indonesia masih dapat bersinar dalam hal ekonomi. data-data ekonomi indonesia memberikan angin kehidupan yang sejuk bagi perekonomian di masa mendatang. Torehan tersebut dapat tercermin dari pertumbuhan PDB Indonesia yang berada diatas 6% dari 2008 – 2011, menjadi bagian dari G-20, bahkan BPS merilis data persentase kemiskinan yang selalu menurun sampai pada 12,49% pada 2011. Selanjutnya yang lebih relevan dengan pembahasan kita adalah peringkat Investasi indonesia yang telah dinaikan menjadi Investment Grade oleh beberapa lembaga pemeringkat seperti R&I, Fitch dan Moodys [3]. Hal ini menunjukan indonesia adalah tujuan investasi yang layak.

(5) Melimpahnya dana dari timur tengah atas keuntungan harga minyak yang tinggi. Timur tengah yang mayoritas muslim tentu ingin menanamkan modalnya pada instrumen-instrumen syariah. Ditambah instability pasar modal Amerika dan Eropa yang masih dalam proses recovery dari krisis. Potensi dana besar timur tengah tersebut selama ini diparkirkan ke negara lain selain Indonesia seperti Malaysia.

(6) Regulatory framework telah ada. Diantaranya adalah UU Nomor 19 Tahun 2008 tengan Surat Berharga Syariah Negara. Bila sebelum ada landasan hukum saja geliat sukuk sudah mencuat ke permukaan (melalui sukuk Indosat 2002 sebagai inisiasi) bagaimana bila landasan hukum yang ada sudah siap.

Infrastruktur Indonesia: sebuah ironi ditengah keperkasaan ekonomi

Kini pertanyaannya adalah kemana potensi besar sukuk Indonesia akan di bawa? Banyak proyek yang dapat dibiayai namun kami lebih sepakat dengan pembiayaan pada proyek-proyek infrastruktur. Mengapa? Karena efek multiplier-nya yang besar terhadap perekonomian.

Ditengah cerahnya data-data ekonomi makro indonesia harus menyerah pada awan mendung infrastruktur yang tak kunjung berlalu. Dalam laporan World Economic Forum, The Global Competitiveness Report 2012-2013, disebutkan bahwa infrastruktur masih menjadi maslaah kebesar ketiga di Indonesia. Peringkat infrastruktur Indonesia pada tahun 2012 berada pada posisi 78 dari 144 negara. Sementara itu, dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya kondisi infrastruktur Indonesia juga lebih buruk. Peringkat infrastruktur Indonesia berada dibawah Malaysia, Thailand dan terutama Singapura. Malaysia dan Thailand berturut-turut berada pada peringkat 32 dan 46 sedangkan Singapura diposisi ke-2 [4]. Dengan buruknya kondisi infrastruktur ekonomi Indonesia tentu investasi infrastruktur semakin diperlukan untuk terus mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Pemerintah bukannya tidak tahu, keterbatasan angaran pembuatan infrastruktur menjadi sebab utamanya. Pada 2012 saja rasio anggaran infrastruktur terhadap PDB hanya 3% jauh dari China dan India yang mencapai 7-8 persen [5]. Disinilah potensi besar sukuk dapat menjadi alternatif solusi. Dalam MP3EI jelas indonesia memiliki begitu banyak proyek infrastruktur di setiap koridor ekonomi yang ada. Sampai 2025 Indonesia membutuhkan setidaknya Rp 4.000 Triliun untuk membiayaai infrastruktur tersebut. Tentu APBN tidaklah mungkin men-cover dana sebesar itu. Pilihan lainnya adalah dengan hutang. Dapat dibenarkan namun pemerintah sendiri telah bertekad untuk memilah-milih kepada siapa mereka akan berhutang. Yang di proiritaskan adalah dalam negeri, dalam mata uang rupiah, dan sukuk sangatlah cocok untuk kriteria ini.

Skema PPP (Public Private Partnership) lebih banyak dimasuki kreditur Jepang semisal Japan Bank for International Cooperation (JBIC). Hal tersebut baik, namun alangkah lebih baiknya bila masyarakat dalam negeri juga dapat berinvestasi pada infrastruktur kita. Kemudian dana melimpah timur tengah atas ‘panen’ minyak buminya haruslah dapat di-capture oleh pemerintah kita. Value shariah mereka tentu sangat tertarik dengan Sukuk.

Para ekonom yang hatinya masih memiliki kecenderungan pada ekonomi syariah dan yang logikanya telah menemukan benefit besar pemanfaatan instrumen syariah dalam perekonomian telah mendorong pemanfaatan sukuk sebagai alternatif pembiayaan infrastruktur Indonesia. Hal tersebut bukanlah dibangun dengan tanpa 'dalil' yang kuat, berbagai riset mengenai potensi pemanfaatan sukuk telah di lakukan. Hasilnya mengamini dari hati dan/atau logika akan potensi besar tersebut. Kini tinggal menunggu 'kelapangan hati' pemilik tahta di negeri ini untuk menjadi wakil Tuhan, memutuskan penggunaan dan pemanfaatan secara optimum instrumen syariah yang beranama Sukuk sebagai 'alternatif' pembiayaan infrastruktur di Indonesia.

Endnotes:

[1] http://www.theborneopost.com/2012/09/28/malaysia-still-global-runaway-sukuk-leader/, Malayisa still global runway sukuk leader. Posted on September 28, 2012. Accessed on December 10, 2012.

[2] http://www.indexmundi.com/malaysia/demographics_profile.html, Malaysia Demographivs Profile 2012. Posted on july 19, 2012. Accessed on December 10, 2012.

[3] http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/10/19/08312362/Indonesia.Diganjar.Investment.Grade.dari.R.I, “Indonesia Diganjar Investment Grade dari R&I”. Oleh Didik Purwanto. 19 Oktober 2012. Accessed on Decemeber 10, 2012

[4] Schwab, Klaus. World Economic Forum Report, Global Competitiveness Index 2012-2013.

[5] http://www.indonesiafinancetoday.com/read/34964/Rasio-Anggaran-Infrastruktur-Hanya-3-dari-PDB, “Rasio Anggaran Infrastruktur Hanya 3% dari PDB”. 12 Oktober 2012. Accessed on December 10, 2012.

1 komentar:

  1. [OOT] wah, wahyu ngeblog juga toh. udah lama jadi blogger juga ternyata :D
    mampir juga ke blog ane ya http://mahdiy.wordpress.com/

    BalasHapus