Kamis, 28 April 2011

Bom Bunuh Diri, Apa Hukumnya?*

Oleh: Wahyu Ibnu Atman

Masih hangat terdengar oleh hampir setiap pasang telinga di negeri ini (Indonesia), meledakkan dirinya seorang pemuda disebuah masjid saat shalat jum’at sedang berlangsung. Bom bunuh diri, atau yang para pelakunya sering menyebutnya dengan ‘bom syahid’ kembali terulang, setelah sebelumnya pun negeri ini sempat ‘geger’ dengan kasus bom buku yang menurut pihak yang berwenang, hampir semuanya memiliki satu motif, Jihad di Jalan Alloh. Namun benarkah itu semua memang merupakan Jihad fii Sabilillah?

Kita tidak perlu ragu dan menolak, bahwa Jihad Fii Sabilillah adalah syariat yang diwajibkan dalam Islam. Berdasarkan Firman Alloh:

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (QS Al-Baqoroh: 126)

Dan masih banyak lagi ayat Al-Qur’an yang mewajibkan jihad.

Empat Imam Madzhab dan lainnya telah berkonsensus bahwa jihad fii sabilillah hukumnya adalah fardhu kifayah, apabila sebagian muslim telah melaksanakannya, maka gugur kewajiban atas yang lainnya. Kalau tidak ada yang melaksanakannya maka berdosa seluruhnya.

Jihad Fii Sabilillah baru dapat dilakukan apabila telah terpenuhi atasnya 4 hal:
1. Adanya seorang Imam (pemimpin), artinya kita harus berjihad bersama pemimpin pemerintah kaum muslimin. Jihad tidak dibenarkan sendiri-sendiri.
2. Adanya Daulah (Negara). Perlu diketahui bahwa Indoensia adalah termasug negara muslim, karena syiar-syiar islam dapat berlangsung (Adzan, Shalat ‘ied, Shalat Jum’at dan lain-lain).
3. Ada bendera Jihad
4. Dan adannya kekuatan atau kemampun. Syaikh Utsaimin dan Syaikh al-albani Rohimahumullah mengatakan bahwa, kaum muslimin belum dapat berjihad saat ini melawan negeri kaum kafirin, karena belum memiliki kekuatan dalam hal iman dan persenjataan.

Jihad ke medan perang hanya dilakukan oleh muslim (laki-laki) sedangkan muslimah (perempuan) maka jihadnya adalah dengan Haji dan Umrah. Hal ini sebagaimana tercantum pada Hadits. ketika ditanaya tentang jihad oleh ‘Aisyah Rasulullah menajwab: “…Kaum wanita wajib berjihad. Jihad yang tidak ada peperangan didalamnya, yaitu (ibadah) haji dan ‘umrah” [HR Bukhari no.1520]
lalu bagaimana dengan Hukum Bom Bunuh diri?

Kita mengetahui bahwa syariat islam datang untuk melindungi 5 hal penting, yakni Agama, Jiwa, Harta, Akal, dan kehormatan. Artinya setiap syari’at yang Islam bawa pada hakikatnya ada untuk melindungi ke-5 hal penting diatas. Bila dikatakan bahwa bom bunuh diri merupakan bagian dari syariat Islam, maka seharusnya kegiatan tersebut melindungi 5 hal yang telah disebutkan diatas. Mari kita lihat apakah Bom Bunuh diri melindungi 5 hal penting diatas?

Jelas sudah bahwa kegiatan Bom bunuh diri setidaknya dapat menyebabkan beberapa hal:
1. Membunuh Jiwa, baik Muslimin maupun non Muslim. Karena membunuh keduanya adalah Haram hukumnya (kecuali pada Non Muslim yang memerangi kaum Muslimin). Allah Berfirman:

"Oleh karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi bani Israel, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh seluruhnya". (QS Al Maidah 32)

Membunuh seorang dosanya sama dengan membunuh seluruh umat manusia. Sedangkan orang non Islam yang ada di negeri ini adalah orang-orang yang dilindungi oleh pemerintah kita, dan haram hukumnya untuk diganggu, termasuk dibunuh.
2. Mengandung unsur yang merusak harta sedangakn islam melindunginya.
3. Menakut-nakuti umat.
4. Mengandung unsur perusakan terhadap bumi.

Beberapa hal yang disebutkan diatas jelas merupakan hal-hal yang dilindungi oleh syari’at. Bilamana seorang muslim saja diperintahkan untuk menyingkirkan batu dijalan yang dapat mengganggu orang (dalam hadits disebutkan bahwa itu adalah serendah-rendahnya iman), maka tidak mungkin bom bunuh diri, yang menyebabkan kerusakan begitu besar, merupakan bagian dari syariat islam. Bahkan kegiatan itu sendiri bertentangan dengan syariat islam. Dan dalam Bom Bunuh diri pun tidak terpenuhi didalamnya 4 syarat Jihad yang telah disebutkan diatas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Bom bunuh diri bukanlah bagian dari jihad. Selain itu juga telah ada pula fatwa dari Para Ulama Saudi Arabia akan keahraman bom bunuh diri.
Islam memang mensyariatkan Jihad Fii Sabilillah, namun seluruh ibadah, termasuk didalamnya Jihad, harus sesuai dengan apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan dan contohkan. Karena syarat diterminya ibadah adalah dua hal, Ikhlas ditujukan hanya kepada Alloh, dan Sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, selainnya maka ibadah tersebut sia-sia.
Bom Bunuh diri adalah Haram dalam islam sesuai dengan dali-dalil yang ada. Entah kemudian disebut dengan Bom Syahid atau apapun, bila hakikatnya masih tetap sama, maka perubahan nama tidaklah mengubah hukum.

Orang yang melakukan bom bunuh diri dihukumi mati bunuh diri, dan di akhirat kelak akan dibalas sesuai dengan apa dia membunuh dirinya sendiri. Berdasarkan Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

"Barangsiapa membunuh dirinya sendiri di dunia dengan cara apapun, maka Allah akan menghukum dia dengan hal yang sama (yang dia lakukan yang menyebabkan dia terbunuh) di hari kiamat" [Diriwayatkan oleh Abu 'Awanah dalam Mustakhraj-nya, dari Tsabit bin Ad Dhahak radhiyallahu 'anhu].

Maka, hendaklah kita memahami Islam dengan Al-Qur’an dan Assunnah yang shahih sesuai dengan pemahaman para sahabat. Agar tidak tersesat dalam pemahaman-pemahaman yang menyelesihi ajaran Islam itu sendiri.

Wallahu’alam bish-showab

*Merujuk pada Kitab Syarah Aqidah Ahlusunnah wal Jama’ah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas dan Fatwa Hai’ah Kibaril Ulama (majelis Ulama Senior), 13 Rabi'ul Awal 1424, lih http://www.fatwa-online.com/news/0030518.htm.

Rabu, 27 April 2011

Hukum Berjual-beli di Masjid

Oleh : Wahyu Ibnu Atman

Islam adalah agama yang mengatur kehidupan pemeluknya dengan sangat lengkap. Tidak akan pernah kita temukan agama selengkap islam. Bahkan dari hal kecil layaknya adab di kamar mandi, mulai dari masuk, didalam, sampai keluar. Semua telah di ajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam. Bila hal kecil seperti itu saja—adab dikamar mandi—dijelaskan dengan detail oleh islam, apa lagi selainnya yang lebih besar.

Tidak ketinggalan tentang jual beli pun telah diatur oleh islam, kaidah besar mengatakan dalam muamalah segalanya diperbolehkan kecuali yang diharamkan. Berbeda dengan ibadah yang tauqifyah, artinya berhenti kepada dalil saja, semua ibadah hukum asalnya haram untuk dilakukan kecuali yang disyariatkan melalui Al-Qur’an dan Assunnah yang Shahih.[lih. Syarah Ushul As-sunnah Imam Ahmad bin Hambal, oleh Al-Walid bin Muhammad Nabih bin Saif An-Nashr]

Bila melihat kenyataan yang ada, masih banyak dari kita (termasuk saya) yang belum mengetahui hukum-hukum terkait muamalah secara benar. Karena itulah pada kesempatan ini saya akan mencoba untuk berbagi terkait masalah hukum jual beli di Masjid, yang telah dijelaskan oleh ahlul ilm (ahli ilmu). Tulisan dibahwah ini, saya salin dari tulisan al-Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, MA Hafidzahullah dalam artikel yang beliau tulis pada Majalah Al Furqan Edisi 09 Th ke-10. Dengan judul ‘Mengenal Perniagaan Haram’ hal. 47-48.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
“Bila engkau mendapatkan orang yang menjual atau membeli di dalam masjid, maka katakanlah kepadanya, ‘laa arhamallahu tijaarotaka’ (‘semoga Alloh tidak memberikan keuntungan pada perniagaanmu’). Dan bila engkau menyaksikan orang yang mengumumkan barang yang hilang didalam masjid, maka katakanlah ‘laa rodallahu ‘alayka’ (‘semoga Alloh tidak mengembalikan barangmu yang hilang’).” (HR at-Tirmidzi hadits no. 1321, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani Rohimahullah dalam Irwa’ul Gholil: 5/134 no. 1295)

Dahulu Atho’ bin Yasar Rohimahullah bila menjumpai orang yang hendak berjualan didalam masjid, beliau menghardiknya dengan berkata, ”Hendaknya engkau pergi ke pasar dunia, sedangkan ini adalah pasar akhirat.” (Riwayat al-Imam Malik dalam kitab al-Muwaththo’: 2/244 no. 601)

Berdasarkan ini semua, banyak ulama yang mengharamkan jual beli dalam masjid. Dan perlu diketahui bahwa menurut sebagian ulama hukum ini juga berlaku pada teras masjid. Hal ini dikarenakan para ulama telah menggariskan suatu kaidah yang menyatakan:
“al-haryymu lahu hukmu maa huwa haryymun lahu”. Sekeliling suatu memiliki hukum yang sama dengan hukum yang berlaku pada sesuatu tersebut. (al-Asybah wan an-nazho’ir oleh as-Suyuthi: 240)

Kaidah diatas disandarkan oleh para ulama ahli fiqh dari sabda Nabi Shallallahu ‘alayhi wa salam:
“Sesungguhnya yang halal itu nyata, dan yang haram pun nyata. Dan diantara keduanya (halal dan haram) terdapat hal-hal yang diragukan (syubhat), banyak orang yang tidak mengetahuinya. Maka barang siapa yang menghindari syubhat, berarti ia telah menjaga keutuhan agama dan kehormatannya. Sedangkan barang siapa yang terjatuh dalam barang-barang yang syubhat, niscaya ia terjatuh kedalam hal yang haram. Perumpamaanya bagaikan seorang penggembala yang menggembalakan gembalaannya) disekitar wilayah larangan (hutan lindung), tak lama lagi gembalaanya akan memasuki wilayah itu. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki wilayah larangan. Ketahuilah bahwa larangan Alloh adalah hal-hal yang Dia haramkan.” (HR al-Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599)

Akan tetapi, bila teras tersebut berada diluar pagar masjid, atau terpisahkan dari masjid oleh jalan atau gang maka tidak berlaku padanya hukum masjid. Penjelasan ini selaras dengan fatwa Komite Tetap Fatwa Kerajaan Arab Saudi (al-Lajnah ad-Da’imah) fatwa no. 11967. (selesai tulisan al-Ustadz Badri)

Tidak diragukan lagi bahwa sepatutnya bagi kita, terutama yang mengaku ingin menjadi ekonom muslim, untuk mengetahui tentang hal diatas dan juga menjauhi jual-beli yang kita lakukan di dalam masjid. Karena para ulama telah menyatakan keharamannya, begitu juga keharaman berjual-beli pada teras masjid, berdasarkan nash-nash yang shahih.
Wallahu Ta’ala A’lam Bishshowab.