Minggu, 15 Januari 2012

Paradoks Ekonomi dan Lingkungan

“Antara Aku, Masa Depan, dan Lingkunganku”
Oleh: Wahyu Jatmiko*

Sebagai mahasiswa di fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, telah terbayang bagi saya pekerjaan apa yang ingin saya dapatkan di kemudian hari. Layaknya mahasiswa kedokteran secara normatif kelak bekerja sebagai dokter, mahasiswa teknik kelak bekerja menjadi teknisi, mahasiwa psikologi bekerja sebagai psikolog, begitu pula saya, mahasiswa manajemen fakultas ekonomi, tentu kelak bekerja sebagai seorang manajer perusahaan yang secara langsung bersinggungan dengan perekonomian sebuah bangsa bahkan global. Dan kita ketahui sebagian besar perusahaan tersebut adalah profit-oriented perusahaan, yang sesuai dengan namanya memiliki orientasi untuk maximaizing profit.

Tiga semester sudah saya manimba ilmu di Fakultas Ekonomi Universtas Indonesia, pelajaran-pelajaran yang diajarkan, secara subjektif saya katakan, sangat kering dengan konsep environmentaly frendly. Memang akan kita temukan bila mencari konsep ‘go green’ di buku-buku teks yang dipelajari seperti Understanding Business, Basic Marketing dan yang lainnya. Tapi mari kita cermati, apa motivasi perusahaan menerapkan konsep ‘go green’ tersebut? mengapa baru akhir-akhir ini awareness perusahaan muncul terhadap lingkungan? Kalau saya boleh menjawab maka jawabanya adalah karena dahulu, awareness tersebut belum perlu. Karena dahulu consumer belum aware terhadap masalah lingkungan. Artinya awareness yang timbul sekali lagi tujuannya adalah untuk maximaizing profit. Karena demand masyarakat yang increasing terhadap produk-produk yang lebih ramah lingkungan (go green). Sehingga ‘go green’ menjadi konsep yang digunakan untuk satisfy keinginan (wants) dari konsumen tersebut.


Pertumbuhan ekonomi sebuah bangsa selalu menjadi hal yang diperbincangkan dan menjadi prioritas utama. Tentu perusahaan (firms) adalah salah satu variable utama dalam pembangunan ekonomi (economic development) selain Household, Government dan Forign Stakeholders. Namun pernahkah kita melihat pembangunan ekonomi, yang seharusnya memiliki tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup (standard of living) masyarakat tersebut malah berperan sebaliknya? Pernahkah kita lihat pembangunan bangunan-bangunan (gedung) yang harus ‘membuka’ lahan hutan? Pernahkah kita lihat pertambangan yang mencemari lingkungan sekitarnya dengan limbahnya? Hal-hal tersebut sangat mudah dan sering kita lihat dan dengar karena sangat seringnya di kabarkan.

Pembangunan Infrastruktur akan meningkatkan perputaran uang dalam perekonomian, karena sarana dan prasarana yang baik, bisnis akan berkembang dengan pesat, Investor luar negeri masuk, sehingga arus kas negara akan positif, GDP naik, berarti Ekonomi negara tumbuh. Namun ‘hebatnya’ pertumbuhan perekonomian seluruhnya diukur melalui GDP (sebagai ukuran yang memang paling mudah) tidak peduli efek dari pembangunan itu apakah benar-benar meningkatkan standard of living atau malah mereduksinya. Yang terjadi, banyak dari pembangunan ekonomi yang ada malah berbanding terbalik dengan ketersediaan lingkungan yang baik. Mengapa hal ini semua terjadi?

Menurut hemat saya sebabnya adalah karena kita masih menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan utama pembangunan bangsa. Seharusnya pertumbuhan ekonomi ‘hanya’ sebagai alat untuk mencapai pembangunan nasional tersebut. Sehingga bila ada kegiatan ekonomi yang justeru akan menghambat pembangunan suatu bangsa, kegiatan itu harus dihindari. Nah, pembangunan itu sendiri pada dasarnya adalah membangun kualitas hidup yang lebih baik, yang salah satu variable utamanya adalah ketersedian lingkungan (environment) yang baik untuk keberlangsungan peradaban manusia di dunia ini. Karena bila tujuan utamanya adalah pertumbuhan ekonomi semata, Pembangunan yang berkesinambungan (sustainable development) tidak akan terwujud.

Pelestarian lingkungan adalah kegiatan yang mulia. Saya kira kita dapat berkonsensus dalam hal ini. Katakan kepada saya negara mana didunia ini yang menganggap pelestarian lingkungan itu buruk? Agama apa yang tidak memasukkan pelestarian lingkungan sebagai salah satu kebaikan dengan pahala yang besar sebagai ganjarannya? Tentu semua kita sepakat, lingkungan harus dilestarikan. Maka sekcil apapun kita dapat memulainya dari diri kita sendiri, menularkannya kepada keluarga, teman, masyarakat, dan kemudian dunia.
Para calon pemimpin negeri, calon pemimpin perusahaan, dan calon pengusaha adalah orang-orang yang sangat memiliki kepentingan dalam hal pelesarian lingkungan. Kegiatan ekonomi yang ada harus kita akui dapat menjadi sebab berkurangknya kualitas lingkungan kita, maka saya ulang bahwa pertumbuhan ekonomi bukanlah tujuan bagi pembangunan bangsa, melainkan sebagai salah satu alat (tool) untuk mraihnya. Sehingga definisi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable development) dapat kita ikrarkan secara jelas, yaitu merupakan pembangunan yang tidak terfokus pada hasil di hari ini melainkan juga di waktu yang sifatnya jangka panjang (long term oriented) yang tujuan utamanya adalah meningkatkan standar hidup (standard of living) dari subjek dan objeknya.

*Penulis merupakan Mahasiswa Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Ia telah menempuh pendidikan di FEUI selama 3 semester. Ia merupakan peserta UI Student Development Program (SDP) dan penerima beasiswa Bidik Misi 2010. Kini ia aktif sebagai pengurus FSI (Forum Studi Islam) FEUI dan beberapa oraganisasi lainnya.