Rabu, 09 Januari 2013

Nilai Ekonomi Rokok

Beberapa saat yang lalu saya berkesempatan mengunjungi sebuah desa di bilangan kota Garut, Jawa Barat. Sebuah desa yang indah, berisikan penghuni yang sangat ramah dan agamis yang terikat dalam tali kekeluargaan yang menghangatkan. Namun tanpa mengurangi kebanggaan atas hal diatas, ada satu hal yang membuat saya miris, yakni budaya merokok yang telah mengakar. Adalah sebuah hal yang aneh bagi mereka bila seorang laki-laki yang sudah besar tidaklah merokok. Bahkan ketika bermalam di salah satu rumah warga, ada teman yang ‘dipaksa’ untuk merokok (dan akhirnya merokok) padahal ia bukanlah perokok. Ketika saya tanya kepada salah satu penduduk berapa bungkus rokok ia habiskan tiap hari, 3 bungkus adalah jawabannya. Hal ini bukanlah ‘keistimewaan’ desa yang saya sebut diatas saja, sebagian besar tempat terutama di daerah pegunungan di negeri kita ini memiliki culture yang sedikit banyak mirip. Pada tulisan kali ini saya merasa perlu untuk berbagi dengan kawan-kawan terkait dengan fenomena ini.



Tidak perlu rasanya saya definisikan apa itu rokok karena setiap hari kita telah dapat menemukannya. Tidaklah perlu pula rasanya saya membahas mengenai dampaknya terhadap kesehatan baik bagi perokok aktif maupun yang merasakan imbas melalui aktifitas merokok pasif. Saya rasa seharusnya larangan yang jelas dipampang dalam kemasan dan setiap iklan produk rokok tentang bahaya rokok pada kesehatan telah dapat memberikan gambaran. “Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin”. Tidak pantas pula bila saya membahasnya melalui perspektif agama, karena bukan kapasitas saya. Yang jelas apapun agamanya saya kira tidak ada yang menyepakati diperbolehkannya ‘menghancurkan’ diri sendiri dan juga orang lain. Dan sebagaimana yang telah kita tahu, rokok sangat tepat sebagai sarana ‘penghancur’ kesehatan diri sendiri dan orang lain. Perspektif ekonomi-lah yang coba saya gunakan dalam pembahasan ini.

Data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2010 menunjukan bahwa prevelensi merokok penduduk Indonesia berusia 10 tahun ke atas adalah 34,7 persen. Dua puluh empat provinsi berada diatas rata-rata tersebut termasuk diataranya adalah Jabar (37.7 Persen) dan yang tertinggi adalah Kalteng (43.2 persen). Secara rata-rata prevelensi merokok ini terus meningkat dari tahun 1995 yang berada pada 27 persen, 31.5 persen pada 2001, 34.4 persen pada 2004 dan sedikit menurun 2007 34,2 persen, namun meningkat kembali 34.7 persen pada 2010 (Data Susenas dan Riskesdas)[1]. Hal diatas sebagaimana digambarkan dalam grafik dibawah ini.



Fakta menunjukan bahwa kalangan yang paling banyak merokok justeru dari masyarakat berpenghasilan rendah. Bila melihat pada fakta yang saya temukan di sebuah desa di Garut masyarakatnya hampir semuanya adalah petani, penghasilan tidaklah seberapa dan sangat tergantung dengan musim namun merokok bisa 3 bungkus setiap hari dengan harga rata-rata Rp 8.000 per bungkus. Dalam sebuah penelitian terhadap pekerja sektor informal juga ditemukan bahwa 85 persen tukang ojek mempunyai kebiasaan merokok. Rata-rata mereka dapat menghabiskan 11 batang perhari dengan rata-rata pengeluaran mencapai Rp 7.500,- [2].

Dalam survey LDUI-WHO tahun 2008 disimpulkan bahwa rata-rata pengeluaran untuk rokok bagi rumah tangga perokok termiskin adalah 8 kali lebih besar dari pengeluaran untuk daging, 3 kali lebih besar dari pengeluaran untuk biaya kesehatan, 4 kali lebih besar dari pengeluaran untuk biaya pendidikan, 5 kali lebih besar dari pengeluaran susu dan telur dan 2 kali lebih besar dari pengeluaran untuk ikan [3]. Lebih jauh lagi menurut data dari Profil Tembakau Indonesia (2008) belanja rokok rumah tangga perokok di Indonesia menempati urutan nomor 2 (10.4 persen) setelah makanan pokok padi-padian (11.3 persen)[4].

Dampaknya bagi ekonomi jelas, secara umum dapat dibagi menjadi dua kerugian utama. Yang pertama adalah kerugian secara langsung dan yang kedua adalah kerugian secara tidak langsung.

Kerugian secara langsung:

(1) Kerugian yang ditimbulkan karena alokasi pengeluaran rokok itu sendiri. Sebagaimana data yang telah ditampilkan diatas bahwa proporsi pengeluaran rokok rumah tangga perokok bahkan menduduki peringkat kedua setelah padi-padian. Tidak ada keuntungan ekonomis yang didapatkan dari merokok, yang ada malah akan membuat risiko sakit semakin tinggi.

(2) Risiko sakit yang tinggi bagi para perokok menyebabkan spending para perokok terhadap layanan kesehatan semakin meningkat baik secara mikro ataupun makro. Dr. Korsen (2008) menyebutkan bahwa dalam setahun total biaya kesehatan yang dibelnajakan oleh rakyat indonesia untuk penyakit yang berkaitan dengan tembakau berjumlah Rp 15.4 triliun untuk pelayanan rawat inap dan Rp 3.1 triliun untuk pelayanan rawat jalan [5].

(3) Bila poin kedua adalah kerugian secara individu-individu, maka belum lagi ‘kerugian’ yag diderita oleh negara berkaitan dengan biaya pengeluaran sosial pemerintah yang harus meningkat untuk membiayai masyarakat yang tidak mampu untuk berobat. Perlu diingat bahwa mayoritas pengkonsumsi rokok justeru adalah dari kalangan masyarakat berpenghasilan rendah. Dr. Korsen (2008) juga menyebutkan bahwa kerugian ekonomi negara berkaitan dengan mengonsumsi produk-produk tembakau mencapai Rp 338.75 triliun, sedangkan cukai dari rokok hanya Rp 53.9 triliun [6].

(4) Kita juga perlu menghitung kerugian yang diderita oleh perusahaan yang harus membiayaai karyawan-karyawannya yang sakit disebabkan oleh konsumsi tembakau.

Kerugian secara tidak langsung (opportunity loss):

(1) Tidak dapat bekerja ketika sakit disebabkan oleh konsumsi tembakau. Hal ini berpengaruh pada pendapatan dari para perokok terlebih sebagian besar berada pada sektor non-formal yang hitungan ‘gaji’nya adalah per-produksi bukan fixed per-bulan.

(2) Secara umum akan terjadi penururnan produktivitas karena absenteeism yang tinggi pada perusahaan disebabkan oleh sakit dari tembakau.

(3) Penyakit yang ditimbulkan oleh tembakau bukan penyakit yang ringan. Hal ini jug sudah menjadi konsesus bersama bahkan bagi para perokok. Risiko untuk mati lebih cepat karena mongonsumsinya akan lebih tinggi. Ini jelas merugikan bagi keluarga yang ditinggalkan mengingat pekerja informal tidak memiliki dana tunjangan, jaminan sosial, dan pensiunan.

(4) Begitu pula pada tingkat perusahaan bahwa kematian karyawan akan menyebabkan pengerusahaan mengeluarkan cost yang lebih berkaitan dengan tunjangan dan pensiun yang harus diberikan pada keluarganya. Lebih dari itu perusahaan harus mencari karyawan baru untuk menggantikan karyawannya yang meninggal. Biaya untuk hiring, training, dan development karyawan jauh lebih besar dari biaya santunan yang diberikan.

(5) Negara juga kehilangan untuk dapat mengalokasikan pengeluarannya pada pengeluaran sektor produktif seperti pembangunan infrastruktur, barang publik, dan pengembangan usaha kecil dan menengah.

Dan masih banyak lagi kerugian ekonomi yang timbul dari hal tersebut. Bila kita kaitkan ini semua dengan anaisis cost dan benefit dalam nominal ekonomi, saya menilai cost yang ditimbulkan akan lebih besar dibandingkan benefitnya. Memang, kita tidak boleh buta bahwa produksi rokok juga menyumbangkan sumbangsih yang cukup besar bagi perekonomian. Cukai (Rp 53,9 triliun), lapangan usaha yang diciptakan untuk petani tembakau dan para penjual rokok, konsumsi nasional yang meningkat yang pada akhirnya meningkatkan PDB (Produk Domnestik Bruto) negara ini. Namun aspek lain selain ekonomi tentunya harus selalu dikaitkan, kesehatan, kelestarian lingkungan, sosial dan lain sebagainya.

Berkaitan dengan hal diatas, mengembalikan fungsi cukai rokok sebagai disincentive policy adalah solusi yang tidak terbantahkan. Bahwa cukai pada rokok bukanlah berfungsi untuk generate GDP melainkan sebagai ‘rem’ bagi konsumsi rokok. Dengan struktur ‘penikmat’ rokok yang mayoritas masyarakat pendapatan rendah maka seharusnya elastisitas terhadap harga rokok cukup tinggi sehingga cukai yang besar harus dikenakan pada rokok untuk membuat mereka shift dari membeli rokok. Dan terakhir bagi kita yang masih mengkonsumsi rokok maka kembalilah berfikir bahwa sesungguhnya bukan hanya kesehatan kita yang sedang kita korbankan melainkan juga masyarakat disekeliling kita, mulai dari keluarga hingga penduduk Indonesia yang harus merasakan risiko sakit yang tinggi.

Wahyu Jatmiko (Management, FEUI)| @wahyuibnuatman

Endnotes:

[1] Masalah Merokok Di Indonesia, http://www.promkes.depkes.go.id/images/download/factsheet1cov.pdf

[2]Setiaji, Bambang., Merokok Sebuah Perilaku yang Irasional., http://dinkes.malangkota.go.id/index.php/artikel-kesehatan/161-merokok-sebuah-perilaku-yang-irasional

[3]Dampak Rokok Terhadap Ekonomi, http://www.promkes.depkes.go.id/images/download/factsheet3conv.pdf

[4]Setiaji, Bambang., Merokok Sebuah Perilaku yang Irasional., http://dinkes.malangkota.go.id/index.php/artikel-kesehatan/161-merokok-sebuah-perilaku-yang-irasional

[5]Dampak Rokok Terhadap Ekonomi, http://www.promkes.depkes.go.id/images/download/factsheet3conv.pdf

[6]Idem

Tidak ada komentar:

Posting Komentar