Oleh: Wahyu Jatmiko (management FEUI)
Pembangunan hijau berkelanjutan bukanlah konsep baru dalam model pembangunan di dunia. Setidaknya sejarah telah mencatat Earth Summit di Rio de Jenerio pada 1992, kemudian dilanjutkan tercetuskannya Kyoto Protokol pada 1997, dan yang teranyar KTT+20 Rio de Jenerio, yang kesemuanya adalah usaha untuk melakukan pembangunan hijau yang berkelanjutan melalui pengurangan emisi global. Pembangunan yang tidak peka dengan aspek lingkungan dan keberlanjutan dimasa depan menyebabkan terjadinya perubahan iklim global yang disebabkan oleh efek rumah kaca, kemudian pada akhirnya menyadarkan dunia akan pentingnya konsep pembangunan yang ramah lingkungan dan juga memikirkan generasi mendatang.
Program-program yang dilakukan dalam rangka mendukung penerapan pembangunan hijau berkelanjutan begitu banyak. Salah satunya yang saat ini sedang ramai dibincangkan adalah REDD. Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation in Developing Countries (REDD) secara sederhana merupakan program pemberian insentif finansial bagi negara-negara yang terbukti dapat menahan laju emisi mereka dengan cara menjaga kelestarian hutan. Adapun REDD+ merupakan perluasan dari REDD dengan memasukkan peranan konservasi, pengelolaan hutan secara berkesinambungan dan peningkatan cadangan karbon. Menariknya, mekanisme REDD adalah negara atau swasta yang dapat menjaga hutannya untuk tidak mengeluarkan emisi potensial dari hutan tersebut akan mendapatkan fee dari negara atau swasta yang seharusnya juga memiliki responsibilitas dalam menjaga kehijauan ekonomi dunia. Atau dapat dikatakan terjadi jual-beli “jasa” pengurangan emisi global. Pertanyaannya, dengan mekanisme jual-beli eimisi seperti itu seberapa efektifkah REDD dapat mendukung pembangunan hijau yang berkelanjutan?
Bila kita berbicara berdasarkan data, REDD dapat dikatakan tepat untuk Indonesia. REDD langsung menyasar kepada emisi yang disebabkan oleh perubahan fungsi hutan. Karena sebagaimana yang kita ketahui bahwa hampir setengah kontribusi emisi di Indonesia disebabkan oleh pengalihan fungsi hutan, yakni sebesar 48% (data Kementerian Lingkungan Hidup, 2009). Bila kita menganalisa dengan pareto tentu program REDD adalah tepat karena langsung mengatasi penyebab terbesar dari emisi global yang ada.
Namun, bila kita lihat secara lebih fundamental maka sebenarnya kebijakan ini “terkesan” tidak adil. Seakan-akan ini merupakan hasil dari ketidakinginan negara maju untuk mengurangi emisi pada negaranya dan lebih memilih untuk membeli usaha pengurangan emisi dari negara lain (developing country). Karena memang secara hitung-hitungan matematis ekonomi pembangunan konvensional lebih menguntungkan dibandingkan pembangunan hijau berkelanjutan. Artinya sebenarnya negara maju secara parsial tidaklah menerapkan pembangunan hijau berkelanjutan.
Cara menilai jumlah dan harga emisi yang diperdagangkan juga tidaklah mudah. Teknologi untuk menilai hal tersebut mungkin juga tidaklah murah. Terlebih juga banyak masyarakat kecil yang menggantungkan ekonominya pada pemanfaatan hutan. Ekonomi mereka tentu akan sangat terganggu dengan penerapan REDD bila pendistribusian hasil dari REDD tersebut tidaklah menjamah mereka.
Terlepas dari positif dan negatifnya program pembangunan hijau berkelanjutan adalah kewajiban setiap negara bahkan setiap manusia yang masih menginjakkan kakinya di bumi. Alam adalah amanah yang harus dijaga, dan keberlangsungan pembangunan yang ada tentu tidak boleh mendzalimi generasi masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar