Tidak terasa tiga tahun lagi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang dicita-citakan akan kita lintasi. Masyarakat ASEAN seharusnya bergembira. Ya, bagaimana tidak, komunitas regional yang diproyeksikan dapat menjaga stabilitas politik dan keamanan regional ASEAN, meningkatkan daya saing kawasan secara keseluruhan di pasar dunia, mendorong pertumbuhan ekonomi kawasan, mengurangi kemiskinan dan meningkatkan standar hidup penduduk negara anggota ASEAN segera siap terwujud. Namun pertanyaannya, apakah negara-negara ASEAN telah siap berbagi “kue” tujuan yang telah berasama disepakati? Atau egoisme memperkaya negara sendiri menjadi nahkoda dari bergeraknya “kapal” besar Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)?
Kita harus mengakui MEA merupakan salah satu jalan lahir tumbuh berkembangnya budaya homo economi lupus, dimana yang kuat memengsa yang lemah. Bayangkan negara ASEAN adalah negara yang majemuk dari segi kemjuannya. Data perekonomian Negara-negara ASEAN tahun 2010 yang diukur dari besarnya GDP perkapita menunjukkan gap yang begitu besar antara the highest dengan the lowest. Dimana Singapura memiliki pendapatan perkapita sebesar US$ 53.180 sedangkan Nyanmar sebagai juru kunci hanya memiliki pendpatan perkapita sebesar US$ 468,6. Pendapatan penduduk Nyanmar tidak mencapai 1% pendapatan penduduk Singapura. Akankah negara seperti nyanamr, laos ($ 886) tersebut hanya akan menjadi bulan-bulanan Singapura dalam pentas masyarakat ekonomi ASEAN? Lalu apa kabar dengan negeri tercinta? Aman? GDP Indonesia mencapai US$3.010,1 (US$3.542,9 di 2011), hanya 5,66 % dari Singapura. Namun perlu juga diingat, bahwa di ASEAN Indonesia menyumbang 40 % pasar bagi barang dan jasa yang diperdagangkan.
Namun, tinta hitam tandatangan para “pembesar” telah tertulis. Bali pada tahun 2003 lalu telah menjadi saksi tekat para kepala negara ASEAN mempercepat terbentuknya MEA di tahun 2015. Pena takdir telah diangkat, tinta abadi takdir Allah pun telah mengering, bahwa MEA memang keniscayaan yang harus ditempuh oleh Indonesia sebagai anggota. Tidak semua rintangan, lebih kepada tantangan yang harus menjadi triger memajukan dan meraih tujuan bersama yang telah termaktub dalam blue print MEA 2015. Lalu sebatas apa Indonesia siap?
Dampak utama MEA adalah semakin terjadinya liberalisasi ekonomi dikawasan ASEAN. Blue Print MEA 2015 memberikan panduan bahwa akan terjadi arus bebas ekonomi setidaknya dari beberapa hal; barang, jasa, investasi, modal dan yang terpenting dalam pembahasan ini adalah skilled labor (tenaga kerja terdidik). Bila tidak bersiap tentu 40% “kue ekonomi” ASEAN di Indonesia akan “dicaplok” negara-negara tetangga.
Skilled Labor adalah faktor penting dalam menghadapi MEA 2015. Bila boleh dikatakan, maka barang, jasa, investasi, dan modal semua dikendalikan oleh skilled labor. Karena itu tenaga kerja (SDM) yang mempuni mutlak dibutuhkan untuk “memenangkan” tujuan Indonesia dalam MEA. Sekarang seberapa siap SDM indonesia?
Jikalau kita jadikan GDP sebagai tolak ukur atas kualitas skilled labor Indonesia dalam mengendalikan barang, jasa, dan modal maka dapat kita katakan bahwa kualitas skilled labor Indonesia masih jauh dibawah tiga negara penghuni kasta teratas yaitu Singapura, Malysia dan Thailand. Inilah kenyataan yang kita dapati saat ini. Ini adalah kontribusi skilled labor Indonesia secara agregat. Terus dimana keberadaan dari skilled labor yang berbasiskan Syariah alias para sarjana ekonomi islam? Seberapa besar kontribusinya untuk perekonomian Indonesia saat ini? Jikalu kita telisik lebih lanjut ternyata kontribusi sektor syariah terhadap perekonomian itu masih terbilang sangat rendah, apalgi jikalau kita komparasi terhadap kontribusinya terhadap perekonomian ASEAN.
Para sarjana ekonomi islam yang merupakan mesin penggerak ekonomi yang berbasiskan islam itu masih tergolong gagal dalam mengambil hati pasar domestik. Rakyat Indonesian saat ini masih cenderung menyukai transaksi secara konvensional. Para pelaku ekonomi di tanah air ini masih menjadikan transaksi syariah sebagai pilihan kedua atau bahkan lebih rendah daripada itu. Inilah bukti bahwa peran dari para sarjana ekonomi islam terhadap perekonomian Indonesia masih terbilang belum optimal.
Seacara logika untuk mengurusi dan merebut pasar domestik saja para praktisi ekonomi islam Indonesia saja masih ‘gelabakan’, ini dengan kondisi sebagian besar target pasar adalah orang islam. Apalagi harus menargetkan dan merebut pasar ASEAN yang mana tambahan target pasarnya adalah mayoritas dari kalangan non muslim. Ditambah lagi dengan kompetitor dari negara lain yang memiliki persiapan, strategi, dan modal yang lebih mumpuni dibandingkan para paraktisi ekonomi islam di Indonesia. Sebagai contoh negara malaysia yang mendapatkan sokongan penuh dari pemerintahannya terhadap pengembangan perekonomian secara syariah, sedangkan di Indonesia?
Apakah dengan keadaan seperti ini MEA akan menjadi berkah bagi ekonomi Indonesia terutama melaui jalur syariah?Ataukah tunas perkembangan ekonomi syariah ditanah air akan sirna olehnya? Allahu’alambissawab
Perlu diingat, kita tidak sedang berdebat masalah hukum penerapan MEA secara syariat islam, mungkin kita telah sepakat bahwa hukumnya adalah mubah, bahkan islam lebih mendukung diterapkannya borderless trades, yang kita bicarakan telah siapkah para sarjana kita untuk menghadapi MEA.
Lantas apa peran para sarjana ekonomi islam dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN? Sebelumnya, sebenarnya kami lebih sepakat dengan penyebutan sarjana ekonomi muslim dari pada sarjana ekonomi islam. Sarjana ekonomi muslim bukanlah terbatas hanya pada mereka yang telah menyelesaikan studinya di universitas islam jurusan ekonomi islam atau syariah. Siapapun dia, khususnya sarjana ekonomi, ‘asalkan’ muslim maka ia adalah sarjana ekonomi muslim. Mereka memiliki peran yang begitu central dalam menghadapi MEA. Peran menjadi skilled labor yang berkualitas, yang dapat bersaing di kancah ASEAN bahkan dunia, yang dapat memberi angin segar bagi diterapkannya ekonomi islam dengan kaafah. Yang menurut hemat kami tidak adanya intention dan implementation atas ekonomi islam yang kaafah adalah salah satu faktor belum maksimalnya ekonomi islam di indonesia. Lantas bagaimana membentuk skilled labor tersebut;
1. Peran dalam ilmu. Mereka adalah penuntut ilmu yang seharusnya telah dapat memgimplementasikan ilmunya, terus menambahnya dan juga mengajarkannya kepada yang lain. Kaitan ilmu sangat luas, hard skill mutlak diperlukan. Insting berdagang dan membaca peluang bisnis perlu terus digali. Mengikuti event business plan, business case, dan kompetisi yang semisalnya perlu ditingkatkan intensitasnya semenjak kuliah, terutama yang cakupannya internasional sehingga bahasa yang digunakan adalah basa inggris. Terus menuntut ilmu agama, baik behubungan dengan muamalah ataupun ibadah. Karena bumi ini mlik Allah, Rizki yang diberikan kepada setiap makhluk adalah dari Allah, jadi tiadalah mungkin seorang meninggal melainkan telah habis baginya jatah rizkinya. Pengetahuan sang sarjana akan islam akan mebuatnya adil, membumi, dan kaafah dalam berislam (dan berekonomi).
2. Memiliki keahlian dan pemikiran bersifat global. Keahlian berupa skill berbahasa inggris adalah hal yang tentunya mutlak diperlukan. Tidak dapat dipungkiri, kalaulah bahasa indonesia yang menyarukan komunkasi masyarakat nusantara dari sabang sampai meroke, maka bahasa inggrislah yang menyarukan komunikasi masyarakat dari barat ke timur dunia, termasuk didalamnya ASEAN. Kita tentu akan kalah bersaing dalam hal ini dengan malaysia terlebih singapura dalam hal ini. Maka bergabung dengan komunitas bahasa inggris, membuat dan mngikuti hari berbahasa inggris nasional, dan menyelenggarakan dan mengikuti smposium, seminar, training dalam bahasa inggris penting dalam rangka menyesuaikan diri. Membiasakan untuk memiliki framework berfikir yang luas, global dan borderless menajadi tools bagi para sarjana mendapatkan keahlian-keahlian yang bersifat global.
3. Pada level yang lebih strategis, sang sarjana dapat mendorong diterapkannya kebijakan-kebijakan yang dapat menjadi senjata memenangkan tujuan Indonesia pada MEA. Misalnya dengan menjadikan Indonesia menjadi pusat Halal ASEAN. Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa pangsa pasar indonesia sangatlah besar, 40 % dari pasar ASEAN. Penduduk yang 230 juta bisa hanya menajdi santapan nikmat negara-negara tentangga yang sudah lebih kuat dan siap. Maka pembentukan Indonesia sebagai pusat HALAL ASEAN adalah langkah strategis yang dapat didorong oleh para sarjana muslim ekonomi melalui birokrasi pemerintahan. Dengan begitu, dapat memenuhi beban syariat berupa keharusan mengonsumsi makanan yang halal bagi masyarakat indonesia, dan disisi lain dapat menjadi sumber pendapatan pemerintah dan menjaga kualitas barang yang beredar terutama di Indonesia.
Ketiga hal tersebut, faktanya, belumlah secara maksimal tercermin dalam para sarjana ekonomi islam kita. Sehingga pada akhirnya usaha untuk meng-upgrade diri sendiri, menularkannya pada orang lain dan seluruh masyarakat indonesia menajadi ujung tombak untuk mengubah status tidak siap menjadi siap menghadapi tantangan Masyarakat Ekonomi ASEAN yang akan kita songsong mulai 2015 kelak. Bersiaplah memanfaatkan, atau kita yang dimanfaatkan.
Author: Wahyu Jatmiko (Management, FEUI), Azizon (Ilmu Ekonomi, FEUI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar