Sabtu, 10 Agustus 2013

Merbabu: Awal Sebuah Cerita (Bag. 1)

Titik Awal Ide Tak Terduga

Liburan Semester 5, Januari 2013. Terselip rasa rindu akan pertemuan dengan sekawanan pejuang di ranah ‘dakwah’ SMA dahulu. Kami mengenalnya dengan nama Rohis. Hampir tiga tahun sudah raga tak lagi bersua. Kalaupun ada kesempatan untuk saling bertatap muka, hanya momen-momen tertentu yang menjadi jembatannya. Standar, sama halnya dengan pemuda yang lainnya, buka puasa bersama di bulan Ramadhan, dan momen halal bi halal saat Idul Fitri. Selebihnya, sosial media menjadi obat kerinduan kami.

Saat itu masih dalam suasana libur menjelang semester 6 kuliah kami. Aku tak ingat tepatnya. Tetiba jemari mengetik ajakan untuk dapat bertemu kembali dengan teman-teman SMA melalui comment dalam sebuas status facebook, kali ini bukan dengan jembatan lama yang setiap orang mudah melewatinya. Kami mebuat jembatan kami sendiri. Hiking. Ya, kami memutuskan untuk melaksanakan sebuah perjalanan yang berbeda untuk pertemuan kami. Merajut persahabatan kembali sembari mencoba bersahabat dengan alam lebih dekat.
Sebuah ide yang tak terduga sekaligus aneh menurutku. Mengapa? Karena memang aku belum pernah melakukannya sebelumnya. Dahulu sempat ikut pencinta alam SMA namun belumlah sampai mendaki gunung sudah harus fokus kepada organisasi lain, apalagi kalau bukan Rohis SMA N 3 Depok. Untungnya beberapa dari teman-teman merupakan alumni EKSTANBA (Ekspedisi Hutan Rimba), nama bagi Pencinta Alam SMA kami. Selebihnya banyak yang mendapatkan pengalaman mendaki saat memasuki dunia penuh ideologi, kampus. Setidaknya mereka dapat membantuku mengerti bagaimana berkenalan dengan pilar penopang langit tersebut.

Dari sekian banyak teman-teman yang kami invite melalui media Facebook kala itu, hanya enam orang yang menyatakan kesediaannya. Siap berpetualang, bersahabat dengan Alam. Siapa saja? Herlambang Satrio Jatmiko (biasa Aku memanggilnya dengan panggilan Ade). Ia merupakan mahasiswa Teknik Elektro UGM. Prawudya Deri Kuncahyo (Dery) yang kini berkuliah di Unair Surabaya jurusan Ekonomi Pembangunan. Nur’aini Rahmawati (biasa Aku memanggilnya dengan sebutan Aini) teman sekampusku di Universitas Indonesia hanya kami beda jurusan, Ia lebih berkutat pada Alam di jurusan Geografinya, sedangkan aku berkutatn dengan Uang. Kemudian ada Novia Shinta Dewi (Dedew, kami memanggilnya), seorang yang kini menjelma menjadi sastrawati dengan pendidikan sastra inggris yang ia sedang jalani di UNS Solo. Ridha Zahratun, Pendidikan Matematika murni, bukan campuran apalagi oplosan, yang sedang dididik menjadi guru teladan di UPI Bandung, dan tentunya yang terakhir Aku, Wahyu Jatmiko, Seorang yang ‘murtad’ dari konsenetrasi Ilmu Pengetahuan Alam pada SMA dahulu, tercebur dengan sengaja di Manajemen FEUI, entah kemana perginya ilmu Biologi, Fisika, dan Kimiaku.

Long Distance Relationship

Komunikasi dan koordinasi nampaknya menjadi barang mahal yang sulit untuk dilakukan. Long Distance Relationship yang kami lalui membuat harga komunikasi dan koordinasi menjadi melambung, premium. Sebagaimana yang telah aku sebut, kami berasal dari daerah tuntutan ilmu yang berbeda-beda. Aku dan Aini di Depok, Ridha di Bandung, Ade di Jogja, Dedew di Solo, dan Dery di Surabaya. Kemajuan teknologi komuniasi yang secara ajaib dapat menyulap orang yang jauh terasa dekat dan menyulap orang yang dekat terasa sangat jauh tetap saja memiliki keterbatasan. Terutama kesulitan menetukan waktu untuk bicara, melakukan perencanaan.

Walaupun begitu, akhirnya trik rapat via facebook ala Ridha nan penuh dengan birokrasi dapat menjadi obat. Group conversation FB, dengan satu moderator, dan setiap ada yang mau berpendapat harus izin kepada moderator tersebut dan baru boleh berpendapat ketika moderator bilang, “oke wahyu masuk”,”Yak silahkan dedew”,”ok apa Aini”. Tidak bersahabat dengan waktu memang, buktinya waktupun bosan hingga begitu cepatnya meninggalkan kami pergi. Namun cara ini yang saat itu menurut kami terbaik.

Keterbatasan LDR tidak lantas membuat kami tidak menyiapkan perjalanan dengan baik, justeru sebaliknya. Setelah diskusi panjang kamipun menyepakati akan mencoba untuk mendaki salah satu pilar langit yang kokoh menyangga bumi Jawa Tengah, Gunung Merbabu. 15 – 18 Februari 2013 dipilih menjadi tanggal sakral pendakian setelah diskusi panjang layaknya menentukan tanggal pernikahan berdasarkan primbon. Tentu saja, masih dengan alat komunikasi canggih, group convetsation FB.

Semua dari kami paham if we fail to prepare we’re preparing to fail. Itinerary kami buat sebaik mungkin, peralatan dan logistik baik kelompok dan individu kami list dan siapkan, tiket kereta kami pesan jauh sebelum keberangkatan, sebulan sebelum keberangkatan juga kami wajibkan masing-masing untuk berlatih minimal jogging 30 menit setiap harinya, referensi tetang gunung Merbabu kami baca, kebetulan Dedew dan Ade juga sudah pernah mengunjungi gunung tersebut. Itu juga salah satu yang mendasari kami memilih Merbabu, pengalaman anggota tim selain tentunya keindahan Merbabu yang luar biasa.

*Tulisan ini terdiri dari 3 bagian:




Tidak ada komentar:

Posting Komentar