Sabtu, 10 Agustus 2013

Merbabu: Perjalanan Ini Dimulai (Bag.2)

Merbabu, We’re Coming

Jalur Selo Boyolali (Jelas bukan jalur untuk pemula) adalah jalur yang disahkan oleh rapat paripurna LDR Tim melalui conversation group di facebook. Kreta Api Brantas Pasar Senen – Solo Jebres adalah moda transportasi yang kami pilih. Hanya dengan membayar Rp 45.500 kami telah dapat satu tiket menuju Solo, St Solo Jebres tepatnya. Harga yang cukup murah. Saat itu kami terabagi menjadi dua tim. Empat orang berangkat dari Depok, yaitu Aku, Aini, Dery, dan Ridha. Sedangkan Ade berangkat dari Jogja dan Dedew dari Solo. Assembly Point kami tentu saja St Solo Jebres.

And... This is it, perjalananpun dimulai. Jum’at, 15 Februari 2013 kami (rombongan depok) berkumpul di stasiun UI selepas shalat Jum’at. Aku datang pertama dengan carrier cozmeed 60 liter hasil pencarianku memalak teman-teman yang sering naik gunung. Dery gagah dengan carrier Eiger hitam-hijau berukuran sekitar 50 liter. Dan Aini terlihat tangguh namun tetap anggun dengan carrier Deuter-nya berwarna biru dominan. Ridha? Oh ya, aku lupa menceritakan kalau Ridha masih ada kuliah di Bandung pada hari jumat pagi itu. Sehingga kami memutuskan untuk bertemu langsung di st. Pasar Senen Jakarta. Namun untuk memuliakan wanita, akulah yang menjadi utusan tim untuk menjemputnya di St Gambir. Sedangkan yang lain langsung naik metromini dari st Cikini ke Ps Senin, aku harus turun dulu di Gambir untuk menjemput calon Guru masa depan bangsa tersebut. (well, maaf kalau agak lebay)
Kami tiba di St Pasar Senen sekitar jam 15.00 sedangkan jadwal keberangkatan kereta kami pukul 16.00 WIB. Masih ada waktu untuk menjalankan titah Tuhan kepada abdinya, shalat Ashar. Bergegas kami mencari Mushala dan shalat Ashar. Setelah itu boarding tiket dan ternyata gerbong besi baja yang akan membawa kami ke kota Solo telah menanti kami. Kamipun masuk, mencocokan nomer gerbong dan bangku sesuai dengan yang tertera pada tiket. Dan meletakan carrier kami di tempat yang telah disediakan diatas tempat duduk kami, memanjang di sudut kana dan kiri mengikuti bentuk gerbong kereta.

Nampaknya ini hari keberuntungan kami, kenapa? Karena kereta Brantas saat itu telah di-upgrade dengan memasang AC pada seluruh gerbongnya. Walaupun terkesan memaksakan karena AC yang di pasang adalah AC ruangan (bukan untuk kendaraan) namun kami tetap melafadzkan Hamdalah mengingat kami mendapatakan tiket dengan harga ekonomi sedangkan harga etiket ekonomi AC bisa 2 kali lipat lebih mahal. Saat itu sebenarnya sempat khawatir kalau kalau kami salah masuk kereta, namun ah ya sudahlah, cuek saja, anggap saja rejeki. Kamipun tidak lagi memikirkannya.

Sang Besi Tua pun mulai ‘mengaung’ tanda ia siap berangkat mengantar kami menuju Solo. Doa, tak luput dari bibir kami meminta keselamatan pada Sang Pemilik Keselamatan Yang Hakiki, Allah Azza Wa Jalla. Perlahan lokomotif berjalan meninggalakan stasiun Pasar Senen menuju ke timur, Merbabu We’re Coming.

Dalam perjalanan kami bercerita banyak hal satu sama lain. Topik utama yang kami bahas tidak jauh dari kegiatan menuntut ilmu selama ini. Dery yang bercerita tentang kehidupannya di Universitas Airlangga. Tentang kegalauan memilih konsentrasi, “Ane juga masih bingung way, International trade atau Regional atau fiskal, atau moneter” ucapnya. Ridha dengan ceritanya tentang UPI dan Matematika, “Aku itu pendidikan matematika murni wawaay bukan terapan...” tegasnya kepadaku. Dan Aini, yang terlihat paling kalem diantara kami, banyak bercerita tentang bumi dan seisinya, tentang anak-anak Geografi yang cukup sering berkelana observing the earth, “Tadi aku ke kelas bawa Carrier om way (aini memang biasa memanggilku dengan sebutan om way, namun jangan salah paham, aku sama sekali bukan om om idung belang), di Geo mah udah biasa carrier berseliweran di dalam kelas.” ceritanya. Tentu sangat berbeda dengan fakultasku, carrier agaknya akan menjadi barang asing di dalam kelas. Hampir semua berpikir praktis, bahkan banyak yang masuk kelas tanpa memabwa tas, hanya alat tulis, smart phone dan i-pad, sudah. Apa jadinya kalau aku bawa carrier ke dalam kelasku, “Ngapain ke kelas bawa-bawa komputer luh yu?..” mungkin begitu sambutan mereka.

Gambar 1: Deri (Kiri) dan Aku (Kanan)

Gambar 2: Ridha (kiri) dan Aini (kanan)

Perjalanan panjang kami di kereta sungguh menyenangkan satu demi satu stasiun kami lewati dengan suasana yang cair diantara kami. Cirebon kami lewati. Terlihat Gunung Ceremai kokoh menopang dataran Cirebon seorang diri tanpa kawan. Hamparan sawah yang mengelilingi fisik sang gunung yang menjulang tinggi di sebelah selatan kami, menyita perhatianku dan teman-teman lainnya. Semarang-pun kami lewati ketika sayupn sayup dengkuran para penumpang lain terdengar membentuk nada-nada tak karuan. Kalaulah saat itu matahari telah naik mungkin pemandangan menkjubkan Gunung Unggaran, Merbabu (tujuan kami) dan saudara kembarnya, Merapi, akan terlihat jelas di sebelah barat perjalanan kami dari Semarang menuju Solo.

Jam menunjukan sekitar pukul 03.45 hari Sabtu, 16 Februari 2013 saat Brantas berhenti di stasiun yang ia tuju. Ya, St Solo Jebres di Solo. Kami telah sampai. Udara sejuk khas kota solo menyambut kami. Saat menuju gerbang keluar stasiun kami berpapasan dengan beberapa rombongan yang juga melangkapi dirinya dengan carrier-carrier besar. Entah mau kemana mereka, Merbabu atau Merapi atau bahkan Lawu, kami tidak bertanya. Kami keluar stasiun dan bergegas menghubungi Dedew dan Ade. Ingin menanyakan dimana posisi mereka. Ternyata Dedew masih baru terbangun dari sleeping beauty-nya sedangkan Ade agaknya baru menyelesaikan shalat tahajudnya. Kostan Dedew memang tidaklah jauh dari stasiun sedangkan Ade sedang akan berangkat dari Jogja menggunakan motor menuju stasiun. Saat itu logika kamipun berkonsensus, kami akan cukup lama menunggu mereka, terutama Ade.

Kami bergegas mencari Masjid di sekitaran stasiun. Sayup-sayup adzan Subuh telah berkumandang. Kami tetapkan radar pendengaran kami mencoba mencari sumber suara. Ternyata masjid tersebut berada tidak jauh dari stasiun, tepatnya di depan stasiun setelah pasar (kami tidak bertanya apa nama pasar tersebut, letaknya tepat berada di depan Stasiun Solo Jebres). Kamipun segera bergegas ke masjid.

Masjid memang selalu menjadi tempat dimana hati kembali. Banyak hal yang dapat kami lakukan di masjid (yang saya lupa namanya) tersebut. Dari mulai bersih-bersih diri, menyikat gigi, cuci muka, ganti baju, buang air kecil maupun besar, beristirahat sejenak sambil menunggu smart phone yang sedang di charge, dan tentu saja yang tidak boleh terlupa, shalat! Keramahan warga solo yang terdengat hingga bumi rantau Jakarta pun telah kami rasakan. Agaknya untuk mereka sudah tidak aneh ada segerombolan anak muda yang bersusah payah membopong carrier yang terkadang ukurannya lebih besar dari badan si pembawa. “Kulonuwon bu”,”Monggo monggo” sudah tak asing lagi bagi lisan dan pendengaran kami.

Tak lama setelah kami shalat dan bersih-bersih Dedew sampai di masjid yang kami singgahi. Suasana kekeluargaan diantara kami menjadi semakin hangat. Sembari menunggu kedatangan Ade kami banyak berbincang mengenai kabar dan isi Carrier masing-masing. Carrier-ku dianggap yang paling ringan oleh Dedew, and you know what... Aku pun harus menukar carrier dengan carrier Dedew yang lebih berat. Hmm siapa yang bisa melawan titah sang senior, aku saat itu hanyalah seorang newbie. Merbabu adalah pengalaman pertamaku.

Sekitar pukul 07.30 WIB orang yang telah lama kami tunggu akhirnya tiba, Ade gagah mengendarai motor lengkap dengan carrier di belakang punggungnya. Tanpa banyak kalimat motor Ade langsung dititipkan di Stasiun Solo Jebres setelah sebelumnya izin pada ‘si empunya parkiran’ untuk ‘menginapkan’ motornya di parkiran tersebut. Dan seperti biasa, yang terlambat dapat ‘ceng-cengan’ dari teman-teman yang lainnya, tak terkecuali Ade.

Gambar 3: The Rangers Aini, Ade, Dedew, Aku, Ridha, Dery (Dari kiri ke kanan)


Si Mas Supir Angkot

Dengan datangnya ade lengkaplah sudah para ‘rangers’ pendakian Merbabu. Kamipun bergegas mencari angkutan menuju terminal tirtonadi Solo. Awalnya kami berencana untuk menuju Boyolali menggunakan Bus dari terminal Tirtodadi Solo, namun ternyata ditengah perjalanan mencari angkot ada seorang supir angkot yang menawari kami untuk mencarter mobilnya hingga basecamp Merababu di Selo. Akupun berdiskusi dengan teman-teman yang lain, dan akhirnya ku keluarkan ilmu tawar-menwar yang ku miliki, bukan bargaining power and position yang ku pelajari di manajemen dari profesor-profesorku, namun ilmu tawar-menawar pasar yang aku pelajari dari hasil observasiku pada Ibu saat aku masih kecil. Dan Rp 150.000 menjadi harga pada titik equilibrium yang tercapai. Deal, kami sepakat!

Aku menjadi utusan rombongan untuk duduk di muka disamping mas supir angkot yang sedang bekerja, mengendarai angkot supaya baik jalannya (sounds like a kids’ song). Sedangkan Ade, Ridha, Dedew, Aini, dan Dery asik di belakan berfoto ria, makan makanan ringan (karena kami memang belum sarapan) dan ngobrol ngalor-ngidul kalau kata orang jawa. Aku? Harus ngobrol dengan sang supir, mendengarkan tentang ia yang dahulu sebelum menikah juga sering ke Merbabu, namun tidak tahu saat ditanya letak basecamp Selo tepatnya (husnudzan saja deh, mungkin beliau lupa), tentang masa mudanya, dan kehidupannya kini. Curhat adalah kata yang lebih merepresentasikan pembicannya. Hmm, dan kelima temanku hanya memandang dengan pandangan meledek dan berbisik satu sama lain mengasihaniku.

Gambar 4: Menemani Supir Ankot, Aku Di Depan

Dari kejauhan jalan Solo-Boyolali, aku melihat tiang kokoh pencakar langit menjulang dikejauhan. Sang pilar kembar kebanggaan warga Jogja, Magelang, dan Boyolali, Merbabu dan Merapi. Mereka indah menyapa kami dari kejauhan. Siluet berwarna biru melekuk indah membentuk rupa gunung bak lukisan indah Sang Pincipta diatas kanvas langit dunia. Tak sabar kami menyapamu balik wahai Merbabu.

Selain pemandangan indah, banyak kejadian yang unik di perjalanan. Mulai dari curhat sang supir angkot, provokasi tukang ojeg yang berkata pada sang supir angkot “wah mas, sampean rugi nek satus limangpuloh sampe atas, berat lho mas medane, curaam” jawab salah seorang tukang ojek, padahal yang kami tanyakan saat itu adalah arah menuju basecamp Merbabu. Hati sang supir pun goyah, akad sewa yang telah menyebutkan harga secara jelas dimuka sebagaimana yang islam ajarkan ingin diingkari. Sang supir berkelit “ora sanggup mas angkote nik sampe puncak.” Namun Aku tetap beralasan “lah kan sudah deal tadi toh mas”.

Mobil terus merangkak naik. Tanjakan curam 45 derajat atau mungkin lenbih coba di daki mobil angkot yang terlihat masih cukup bagus. Sesekali sang supir angkot meminta kami turun karena kasihan angkotnya tak sanggup lagi ditunggangi. Hingga sampai di tanjakan terakhir sebelum basecamp merbabu. Dan memang cukup curam untuk ukuran angkot kecil. Setelah mencoba untuk tetap naik, ditengah kecuraman jalan tersebut sang supir menyerah, angkot tidak sanggup lagi mencapai atas. Kami pun memahaminya. Kami yang sudah berada diluar segera mengeluarkan carrier dan barang bawaan kami. Kami bayar sisa biaya sewa angkot yang belum kami lunasi. Total adalah Rp 180.000. ya, lebih tinggi dari akad kami Rp 30.000. sebuah harga yang pantas untuk menghargai perjuangan mas supir angkot, bukan sekadar mengantarkan kami sampai tujuan yang disepakati, namun atas konsistensinya untuk amanah, memenuhi akad yang telah dibuat.

Suhu sudah mulai menurun. Hawa gunung telah kami rasakan. Angin dingin yang membawa kesejukan menyapa kami dari atas. Kami sudah berada di kaki gunung. Kabut mulai turun dan muncul kekhawatiran akan hujan. Saat itu masih sekitar jam 10.00 pagi namun cuaca membuat waktu terasa lebih tua, seperti senja. Hamparan ladang dan bukit menyambut kami dalam perjalanan menuju basecamp. Ya, itung-itung pemanasan. Namun tak diduga ternyata beberapa meter saja setelah tanjakan tempat kami berpisah dengan mas supir angkot, disebalah kiri jalan terpampang sebuah sepanduk berukuran sekitar 3 x 1 meter bertulisakan “BASECAMP PAK NARTO/HANG BARI. POS MERBABU”. Ya, kami telah sampai di basecamp Selo. Itu berarti perjalanan sesungguhnya akan segera dimulai.

Gambar 5: Bascamp Merbabu Selo













Tidak ada komentar:

Posting Komentar