Sabtu, 10 Agustus 2013

Merbabu: Harga Sebuah Jembatan (Bag.3)

Aku Suka Hujan, Tapi...

Sesampainya di basecamp kami beristirahat sebentar. Sembari memesan makan sebagai ‘bensin’ untuk motor otot kami bekerja. Saat itu sekitar jam 10.30. Tentu saja rombongan kami tidak sendiri. Sebelum kami telah tiba rombongan besar dari Solo. Jumlahnya sekitar 27 orang. Mereka juga tengah bersiap untuk melakukan pendakian, kala itu mereka sedang makan. Seusai makan dengan lauk telur dadar, saya melapor pada basecamp. Nama, nomer HP semua anggota tim diminta untuk dituliskan di buku besar layaknya buku kehadiran saat kondangan. Tak lupa tertulis juga tanggal naik, turun, dan jalur turun. Saat itu kami berencana turun esokan hari namun tidak melalui jalur Selo lagi, melainkan jalur Wekas, Magelang.

Urusan perut dan administrasi selesai. Seusai berfoto di depan basecamp dan memanjatkan doa, kami berangkat. Kala itu langit sudah tidak tahan membendung air hujan. Hujan rintik-rintik menemani start pendakian kami. Aku mendapat tugas sebagai sweaper di belakang. Peran yang menurutku saat itu membosankan namun memiliki fungsi yang tidak tergantikan. Seorang sweaper harus tetap berada di belakang tim apapun yang terjadi. Fungsinya, agar tidak ada satupun anggota tim yang tertinggal. Jelas tugas ini berkonsekuensi pada kemampuan fisik yang baik dan yang paling penting, kesabaran.
Tuntutan pertama mungkin aku bisa penuhi, sebulan penuh sudah kupersiapkan fisikku untuk pendakian pertama ini. Dari mulai jogging minimal 3 kali dalam seminggu, ‘barbelan’, sit-up, dan push-up. Namun tuntutan yang kedua nampaknya aku harus lebih berlatih lagi. Tidak sabar rasanya langkah kakiku ingin cepat-cepat mencapai pos demi pos yang ada. Namun hal tersebut tertahan oleh anggota tim yang berada di depan. Leader perjalanan dipegang oleh Dery. Tugasnya membuka jalan, mencari jalan yang paling feasible untuk dilewati tim dan mengatur kecepatan tim. Mengikuti dibelakangnya adalah Dedew kemudian Ridha, Ade dan Aini persisi di depanku. Formasi ini sebagaimana yang telah kami rencanakan pada briefing beberapa hari sebelum keberangkatan.

Gambar 1: Bersiap Berangkat Dari Basecamp (minus Aini)

Sekitar jam 11.00 kami berangkat. Baru beberapa langkah saja kami berjalan, hujan turun seakan memberi peringatan bahwa hujan angin akan datang di perjalanan menuju puncak. Menurut penuturan penjaga basecamp memang beberapa hari belakangan hujan langganan mengguyur Merbabu. Saat itu belum sampai kami melewati gapura “Selamat Datang Di Taman Nasional Gunung Merbabu” kami harus berhenti untuk mengenakan jas hujan karena hujan semakin deras. Semua berjalan baik sampai kami mengetahui bahwa Dery ternyata tidak membawa Jas Hujan dalam pendakian ini. And guess what... Payung pun digunakan olehnya. Sontak hal tersebut membuat beberapa rombongan lain senyum-senyum keheranan. Jelas saja, pernahkan engkau melihat hikers menggunakan payung ketika mendaki? Aku yakin baru kali ini saja bahkan untuk sekadar mendengarnya.

Perjalanan dilanjutkan. Melalui jalur Selo, Merbabu memiliki setidaknya 6 pos. Pos 1, Pos 2, Pos 3 (Watu Tulis), Sabana 1, Sabana 2, dan terakhir Puncak. Estimasi awal kami kami akan sampai di puncak sebelum maghrib tiba dan mendirikan tenda di puncak. Menuju pos satu masih diguyur hujan walaupun belum deras. Perjalanan menanjak namun sesekali masih mendapatkan bonus track datar. Kami memasuki hutan. Banyak vegetasi yang ditemukan. Jalur masih terasa membosankan. Hujan mungkin menjadi pembeda pendakian ini. Karena kedinginan dan mungkin juga kurang pemanasan, Dery merasakan keram pada kakinya. Padahal baru beberapa menit saja perjalanan, namun hal yang tidak diinginkan tersebut telah terjadi. Tim mencoba untuk tidak panik. Dery memaksakan diri, kecepatan kami perlambat, ia masih tetap didepan menjadi leader. Beberapa kali kami berhenti untuk menunggu kondisi kaki dery agar lebih baik. Aini menjadi juru rawat yang handal. Ilmu PMR yang dahulu ia pernah pelajari di SMA tidaklah sia-sia. Dengan perjuangan yang cukup keras akhirnya tim sampai di pos 1.

Gambar 2: Pos 1 (minus Aini)

Gambar 3: Pos 1 (minus Dedew)

Sebuah dataran yang cukup luas dengan papan bertulisakan pos 1 menjadi penanda bahwa kami telah sampai di pos 1. Disitu mungkin cukup untuk mendirikan 2 sampai 3 tenda kapasitas 4 orang. Perjalanan masih panjang. Kami putuskan untuk tidak berlama-lama di pos satu. Setelah memakan beberapa coklat dan gula jawa, kami meneruskan perjalanan. Tujuan selanjutnya pos 3. Sengaja kami putuskan untuk tidak melewati pos 2 untuk mempercepat gerak kami mencapai puncak.

Aku belum pernah ke merbabu (bahkan ke gunung lainnya pun belum, -,-“) namun aku tahu dari Dedew bahwa perjalanan kedepan akan lebih sulit. Jauh lebih sulit. Walaupun sesuai dengan bonusnya, amizing and beautiful view of god’s creature. Hujan yang semakin deras memang menghalangi jarak pandang kami untuk menikmati keindahan alam kreasi Tuhan tersebut. Namun ada keindahan tersendiri yang hujan tampakkan. Kalau meminjam kata Aini,”Aku suka bau hujan”. Ya, hujan memiliki keindahannya sendiri. Subtitusi yang baik atas tak terlihat jelasnya alam sekitar track selo yang cantik menawan.

Kami terus berjalan menanjak, melewati padang ilalang yang begitu indah. Sesekali berhenti untuk minum dan makan penambah energi. Coklat. Walaupun lebih sering gula jawa yang keluar dari kantong dan carriel. Track melewati lekuk indah bukit-bukit yang menawan.. oh God.. What a beautiful view. Memang benar track menuju Pos 3 lebih indah dan menantang. Beberapa kali kami harus setengah memanjat karena terdapat tanjakan yang kata dedew “hampir 90 derajat way.”

Gambar 4: Padang Ilalang, Aku dengan Ade

Dery? Masih beberapa kali harus memegang kakinya. Semakin lama keram yang dirasakan menjalar ke atas, betis, kemudian paha. Ya, track memang semakin sulit. Hujan ternyata membawa sisi lain yang harus diwaspadai. Dingin. Hati dan logika tiada sanggup berbohong atas rasa dingin yang dirasakan badan. Dan you know what... Salah satu hal yang aku lemah atasnya adalah Dingin. Dan tertebak sudah aku drop. Kedinginan itu sungguh telah memuncak sebelum aku mencapai puncak.

Gambar 5: Padang Ilalang, Dery, Ade, dan Aku

Engkau boleh memberiku track yang lebih sulit 2 kali lipat dari kala itu, namun tidak untuk dingin. Aku lemah terhadap dingin, aku akui itu. Tubuhku mulai mengggil. Air sudah terasa membasahi seluruh badanku tanpa terkecuali. Jas hujan yang aku harapkan setidaknya dapat mengurangi derita kedinginanmu tiadalah berfungsi lagi. Hujan terlalu deras. Aku seperti tidak menggunakan jas hujan kala itu. Tubuhku mulai menggigil hebat. Aku merasa seperti direndam di lautan es (walaupun belum pernah kurasakan juga berendam di lautan es). Bibir dan tangan kulihat membiru. Aku berfikir akan celaka. Track itu menjadi terasa sangat jauh dan melelahkan. “kapan sampainya?” gumamku selalu dalam hati. “kapan hujan akan berhenti” sambil berdoa mengadu pada Allah, “ya Rabb, aku tidak kuat”.

Entah sudah berapa jam kami berjalan, aku tak lagi peduli dengan jam. Yang ku tau kita harus cepat sampai. Mendirikan tenda dan berlindung dari hujan. Itu saja. Setelah sekian lama berjalan akhirnya kami sampai di pos 3, watu tulis. Kami lihat telah ramai para pendaki lain mendirikan tenda di pos tersebut. Watu tulis memang memiliki space yang cukup luas untuk mendirikan tenda. Bisa menampung hingga 10 tenda mungkin. Namun letaknya yang berada di tengah-tengah perbukitan membuatnya tidak banyak dipilih menjadi tempat mendirikan tenda. Mengapa? Ainginlah alasannya. Sangat kencang, bahkan bisa merobohkan tenda di beberapa momen. Namun mengapa kami harus mendirikan tenda di sana, bukan hanya tim kami, namun hampir semua pendaki? Karena kami tidak memiliki pilihan yang lain. Hujan terlalu deras.

Tim bergegas mengeluarkan tenda dari carrier. Kami membawa dua tenda. Aku yang tidak memiliki pengalaman dalam mendirikan tenda hanya tertegun menahan dingin. Sesekali bergerak menunggu titah para ‘senior’. Kedinginan? Sangat. Sungguh dingin sekali. Kami mendirikan tenda lumayan lama. Sebabnya sederhana namun fatal, kami lupa untuk mengecek tenda yang kami bawa. Semuanya tenda sewaan dan kami belum mencoba mendirikannya sebelumnya. Tenda dome memang memiliki bentuk yang relatif sama namun terkadang memiliki cara mendirikan yang berbeda. Hal itu luput dalam perhitungan kami.

Watu Tulis, Saksi Sebuah Keputusan

Gambar 6: Watu Tulis



Sejam mungkin telah beralalu dan tenda kami belum juga terpasang. Aku tak tahan. Aku tinggalkan carrier diluar dan masuk ke tenda yang belum berdiri. Sedangkan yang lain membuat dari luar aku membantu dari dalam untuk mengembangkan tenda. Alasan utamanya tentu untuk menghindarkan diriku dari kedinginan yang teramat sangat. Setelah sekian lama akhirnya tenda kami berdiri. Tidak tegak, jauh dari kata rapih, apalagi benar. Namun setidaknya mampu untuk menghalangi hujan yang semakin deras. Saat itu baru satu yang berdiri. Satunya lagi, kami dirikan belakangan.

Saat tenda sudah berdiri hujan masih juga belum mau bersahabat dengan kami. Masih deras. Tenda bocor karena kami tidak membuat parit disekeilingnya. Tampyas di atas, rembes di sambungan tendanya, dan bocor di bagian alas. Lengkaplah sudah penderitaan kala itu. Kami membagi tugas. Beberapa sibuk mengeluarkan air dari dalam tenda yang telah berdiri dengan menggunakan piring dan gelas sebagian lainnya mendirikan tenda yang satunya. Aku? Tentu mengeluarkan air dari tenda.

Sepanjang hari hujan. Aku bersyukur keadaan ku lebih baik. Begitu pula teman-teman yang lain. Kami memutuskan untuk memasak di dalam tenda karena belum memungkinkan untuk memasak di luar. Shalat pun di dalam tenda dalam keadaan duduk. Hampir semua bawaanku basah. Termasuk juga pakaian ganti. Saat itu tiada lagi yang namanya baju perempuan atau laki-laki. Asalkan kering baik Aini, Ridha, maupun Dedew telah melegalkan pakainnya digunakan oleh Aku, Dery maupun Ade. Begitupun kami kaum adam tidak berfikir lagi ini baju perempuan atau laki. Yang kami tahu kalau kami tidak mengganti baju dengan yang lebih kering, kami akan sakit.

Beberapa keputusan sulit kami ambil kala itu. Yang pertama, keputusan untuk hanya menggunakan satu tenda untuk beristirahat malam. Tenda yang lain tidak mungkin di gunakan karena keadaanya yang buruk. Tenda tersebut hanya kami gunankan untuk menyimpan barang-barang dan memasak. Tenda kami sebenarnya hanya cukup untuk kapasitas 4 orang namun kami gunakan ber-6. Bisa dibayangkan bagaimana bentuk tidur kami. Kaki bertemu kepala dan kepala bertemu kaki. Semua kami atur, posisi tidur laki-laki dan perempuan sebisa mungkin agar tidak bersentuhan. Aku menyetujuinya.

Yang kedua adalah keputusan yang lebih penting. Terkait keputusan melanjutkan perjalanan kepuncak atau tidak. Ada beberapa opsi sebenarnya. Kami bisa saja summit attack malam itu juga. Namun keadaan yang hujan dan fisik tim yang telah terkuras membuat opsi ini urung dilakukan. Dedew bilang “Ane ga yakin bisa kalau jalan malam”. Opsi kedua kita hanya sampai Watu Tulis saja. Menginap malam itu dan esok harinya pulang. Opsi terakhir yang mungkin diambil kala itu, esok muncak! Entah apapun risikonya. Walaupun harus merelakan tertinggal kereta yang tiketnya telah kami pesan jauh-jauh hari dan merelakan tidak mengikuti beberapa mata perkuliahan. Saat itu hasil musyawarah mengecewakanku, kita tidak muncak. Entah mengapa opsi terakhir tidak diperhitungkan. Aku jelas kecewa. Kekecewaan itu nampak. Teman setim, hampir seluruhnya mengetahui itu. Hi come on, ini hiking pertamakau dan harus berakhir tanpa menginjakan kaki di puncak 3142 mdpl yang dituju. Tentu kekeceweaan mendalam yang ku dapatkan. Walaupun telah mencoba menutupinya dan menghargai hasil keputusan bersama tersebut, raut kekecewaan agaknya masih bisa teman-temanku baca.

Sudah Sejauh Ini

Subuh itu hari minggu tanggal 17 Februari 2013. Aku, Dery, dan Ade menguatkan diri untuk tetap shalat subuh berjama’ah di luar tenda. Dinginnya udara subuh itu tidak menghalangi kami untuk tetap melakukan kewajiban kami sebagai abdi Tuhan Yang Maha Esa. Beralaskan matras dibantu cahaya dari headlight yang kami gantungkan di kepala tenda dengan cahaya mengarah ke kami. Hidmat sekali subuh itu, khusyuk, tenang, damai, menemani shalat kami. Walaupun beberapa kali bibirku bergetar saat membaca Al-fatihah dan surat pendek kala itu, karena dingin.

Minggu itu, setelah fajar, awan begitu cerah. Kami menikmati keindahan lain dari merbabu. Ya, keindahan yang sebenarnya kami kejar untuk dapat dilihat di puncak sana. Di titik ketingian 3142 mdpl. Namun apa daya, di Watu Tulis sang matahari juga terlihat indah menampakan bentuknya. Sunrise. Cahayanya memberikan kesegaran tersendiri bagi kami yang kemarin seharian di hujam oleh dinginnya air hujan.

Gambar 7: Sunrise, Mengenggam Matahari

Keindahan dari bagian timur, tahta sang matahari, diimbangi dengan sempurna oleh lawannya, barat. Tepatnya di barat daya Watu Tulis aku takjub menyaksikan keindahan saudara kembar Merbabu, siapalagi kalau bukan Merapi. Indah menjulang tinggi, masih terlihat puncaknya yang gundul tanpa tumbuhan pasca erupsi tahun 2010 yang lalu. Oh Tuhan, alammu begitu Indah. Sinar matahari berarti kesempatan untuk menjemur pakaian dan apapun yang basah. Hal tersebut tidak luput dari perhatian kami. Walaupun kecewa tidak dapat menginjakan kaki di puncak namun sedikit terobati dengan keceriaan yang menghangatkan persahabatan kami di Watu Tulis kala itu. Masak, makan bersama, foto-foto, menjemur pakan bersama, dan sebagainya. Kami lakukan itu semua dengan senyum yang mengembang.

Gambar 8: Kegiatan-kegiatan di Watu Tulis, Canda, Tawa, Ceria



Jam menunjukkan pukul 10.30 saat itu. Aku tidak tahu apa yang terjadi tetiba Ridha, Dedew, dan Aini meminta kumpul di tenda untuk membicarakan sesuatu. Dan sebuah pertanyaan yang tidak asing terlontar. “Kita masih mau ke puncak gak nih?” Cukup kaget menanyakan hal yang sama dengan pertanyaan semalam. Terlebih pertanyaan tersebut telah disepakati jawabannya.

Dan entah apa yang terjadi, mungkin karena saking gembiranya aku melupakan prosesnya. Kami memutuskan untuk muncak. Benar juga, sudah sejauh ini kenapa berhenti hanya sampai Watu Tulis? Tetiba Dedew bangkit dan keluar tenda. “Ayo kita muncak”. Aku mengikuti, dengan hanya bermodalkan tas pinggang kecil berisi sebilah pisau dan menenteng satu botol air 1.5 liter aku berangkat. Yang lain mengikuti langkah Dedew dan Aku. Semua tahu konsekuensinya, kami mungkin akan pulang tidak tepat waktu, dan ada kemungkinan menginap satu malam lagi di tempat yang sama. Namun keinginan sampai puncak meyakinkan kami untuk menghadapi konsekuensi itu.

Dan keputusan kami terbayar indah. Jalur menuju puncak sangat variatif dan menyajikan pemandangan yang luar biasa indah. Dimulai dari tanjakan watu tulis yang curam lagi licin. Ada nisan in memoriam di situ, aku tidak terlalu memerhatikan nama dan tahun meninggalnya. Kemudian kami menuju sabana 1. Bukit teletubis menyajikan pemandangan yang begitu indah. Track naik dan turun tidak membosankan. Sampai di Sabana 1 dan selanjutnya Sabana 2. Sabana yang luas. Ada dua tenda didirikan di pos. Kami sama sekali tidak berhenti kala itu untuk istirahat. Karena target kami harus bisa sampai tenda lagi sebelum jam setengah 2.

Target waktu membuat Aku memutuskan berjalan lebih dahulu. Saat itu bersama Ridha. Formasi tidak lagi kami gunakan. Benar-benar berorientasi tujuan. Ada yang menarik dari Ridha. Beberapa pendaki yang turun tidaklah luput pandangannya dari memerhatikan Ridha. Hal itu tidak lain karena saat itu ia menggunakan rok. Memang jarang ada wanita yang hiking dengan tetap mengankan rok. Jarang bukan berarti tidak ada. Beberapa pendakianku setelah Merbabu, sering kutemukan pendaki wanita dengan menggunakan jilbab dan roknya yang syar’i. Seperti saat di Pangrango, Papandayan, dan bahkan Semeru. Tentu jumlahnya tidaklah banyak. Dari yang tidak banyak itu salah satunya adalah temanku yang satu ini, Ridha. Cukup bangga dengannya.

Gambar 9: Aku dan Ridha, Tanjakan Watu Tulis



Setelah melewati Sabana 2 tanjakan terjal telah menanti didepan. Dari kejauhan kami melihat beberapa orang tengah turun dari puncak. Hanya terlihat kecil warna carriernya saja mungkin. Kami tentu tak gentar. Beberapa kali terpelosok ke bawah. Tanah merah yang terkena air memang sangat licin. Tanjakan dengan sudut sekitar 75 derajat tersebut cukup panjang dan melelahkan. Namun akhirnya Aku dan Ridha kala itu berhasil menginjakan kaki di puncak Triangulasi Merbabu. Sontak lututku ku lekatkan ketanah, tangan, pelipis, dan hidungku berturut-turut mengikutinya. Aku sujud syukur. Akhirnya sampai di puncak, indah, walaupun pemandangan yang ada dominan adalah kabut.

Tak lama Ade sampai di puncak, diikuti oleh Dery, kemudian Dedew dan Aini yang telat kepuncak bukan karena kelelahan, melainkan terlalu asik mengamati dan memoto bukit teletubis dan keindahan Merbabu lainnya. Dedew memberi tahu bahwa puncak tertingginya itu di Kenteng Songo bukan Triangulasi. Masih beberapa meter lagi dari puncak Triangulasi, kamipun bergegas kesana. Tak lama setelah sampai di puncak Kenteng Songo hujan turun. Musibah!. Aku tidak mengenakan jas hujan sama sekali. Kamipun bergegas turun walaupun harus lebih sering terpeleset di tanah-tanah turunan yang licin terkena Air. Sekitar jam setengah 3 kami sampai kembali di tenda.

Gambar 10: Puncak Triangulasi


Gambar 11: Puncak Kenteng Songo


Harga Sebuah Jembatan

Dan kami terima konsekuensi kenekatan kami yang tetap ‘ngeyel’ muncak. Diatara yang sudah pasti adalah ketinggalan kereta. Sudah pasti tidak terkejar. Kereta kami (GBM Selatan) seharusnya berangkat jam 18.00 dari Solo Jebres menuju Jakarta. Kami belum packing, perjalanan turun bisa 5 jam. Kamipun memutuskan untuk menginap semalam lagi.

Ternyata konsekuensi pilihan muncak tidak sampai disitu saja. Efek domino terjadi. Tenda kami tinggal sebatang kara di lembah Watu Tulis tersebut. Angin menerpa begitu kencang. Tidurku tidak nyenyak sekali karena harus terjaga untuk menjaga agar tenda tidak rubuh. Kata Dery “bisa-bisa bangun-bangun udah di bawah ini kita ketiup angin.” Alhamdulillah candaan Dery tidaklah di ijabah oleh Allah.

Gambar 12: Saat Turun Gunung


Esoknya packing, kembali ke Basecamp Selo untuk melapor dan berangkat menuju Solo Jebres dengan menyewa mobil milik penjaga basecamp. Aku, Aini, Ridha, dan Dery pun harus kembali membeli tiket kereta baru menuju Jakarta. Dengan harga yang pastinya lebih mahal, sekitar Rp 150.000 seingetku.

Merbabu mengajarkanku banyak hal. Kita bebas memilih pilihan yang ada, namun tidak bebas menentukan konsekuensi yang melekat padanya. Aku pahami hal tersebut. Segala konsekuensi yang kami terima adalah sebuah harga atas pilihan yang kami ambil. Kami menikmati pilihan itu berikut konsekuensinya. Hal tersebut jauh lebih berharga dari biaya yang kami harus keluarkan. Bukan hanya tentang menyaksikan keindahan kreasi Tuhan di dunia, bukan soal menikmati secuil surga yang jatuh di bumi pertiwi, bukan soal kebanggaan mencapai puncak 3142 mdpl, namun tentang keindahan dan kehangatan persahabatan yang kami rajut. Tentang jembatan yang sedang kami bangun bersama. Jembatan yang menghubungkan tidak hanya dua titik kerinduan anak manusia, namun banyak kerinduan dan harapan. Jembatan yang kami sebut dengan... Jejak 22.
We will pay to build that bridge at any cost. Jejak 22!!!



*Kisah Merbabu ini selesai ku tulis. Namun perjalanan kami masih panjang, membangun jembatan kebanggaan kami. Jejak 22.


4 komentar:

  1. satu yang belum terwujud dari mimpiku bersama jejak22, shalat berjamaah di puncak gunung.entah kapan, semoga bisa terwujud.terhitung janjiku pada salah seorang anggota tim saat itu :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tak ada kalimat yang terbaik untuk mengiringi harapanmu kecuali "Aamiin" dan sebuah harapan bahwa engkau tidak hanya menunggu, melainkan menjemput takdirmu.
      Keep Hike!!! Jejak22

      Hapus
  2. Balasan
    1. Makasih mas bero.. :')
      Masih belajar..
      di tunggu artikelmu.. :D
      Keep Hike!! Jejak22

      Hapus